A.
Tentang
Al-Mahkum Fih
Secara
etimologi mahkum Fih artinya objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang
terkait dengan titah syar’I. secara terminologi, mahkum fih adalah
perbuatan yang harus dilaksanakan oleh mukallaf yang dinilai hukumnya. Jadi
bias disimpulkan bahwa mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang
menjadi objek hukum syara’.[1] Dalam kajian ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
هُوَ الْفِعْلُ الْمُكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقُ بِـهِ
حُكْمُ الشَّارِعِ
Suatu perbuatan
mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’.[2]
Syarat-Syarat
Taklif
Para ulama ushul fiqh mengemukakan syarat sahnya suatu taklif
(pembebanan hukum) sebagai berikut:[3]
a)
Mukallaf
harus mengetahui perbuatan yang dilakukan secara sempurna dan rinci sehingga
suatu perintah atau larangan dapat dilaksanakan secara utuh seperti yang
dikehendaki oleh al-hakim.
b)
Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif. Artinya, ia harus mengetahui bahwa tuntutan itu
dari Allah, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakan titah Allah semata.
c)
Perbuatan
itu haruslah sesuatu yang mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan dalam
batas kemampuan manusia.
Perbuatan itu
haruslah sesuatu yang mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan dalam batas
kemampuan manusia.
Masyaqqah
Bagaimana dengan masyaqqah (kesulitan) dalam taklif.
Apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung masyaqqah?
Dalam hal ini para ulama ushul fiqh membagi masyaqqah terhadap dua
bentuk, yaitu masyaqqah mu’taddah (kesulitan biasa dan dapat diduga) dan
masyaqqah ghair mu’taddah (kesulitan di luar kebiasaan dan sulit
diduga). Yaitu :
1.
Masyaqqah mu’taddah (المشقّة المعتادة) adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa
kemudlaratan baginya. Masyaqqah seperti ini tidak dihilangkan oleh
syara’ dari manusia dan hal ini bisa terjadi, karena seluruh perbuatan (amalan)
dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya,
mengerjakan shalat itu bisa melelahkan badan. Kesulitan seperti ini, menurut
para ahli ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan
seorang hamba dalam menjalankan taklif syara’. Dengan demikian, masyaqqah
separti ini tidak bisa menghalangi seseorang untuk melaksanakan taklif
syara’.
2.
Masyaqqah ghair mu’taddah (المشقّة غير
المعتادة), adalah suatu kesulitan yang
biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa,
mengacaukan sistem kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat,
serta pada umumnya kesulitan seperti ini dapat menghalangi perbuatan yang
bermanfaat. Kesulitan seperti ini pun, menurut ulama ushul fiqh, secara logika,
dapat diterima sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah
sendiri tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk memberikan kesulitan bagi
manusia. Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berpuasa
siang dan malam.
Alasan yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqh dalam hal
ini adalah QS. Al-Hajj:78, QS.
An-Nisa’:28, QS. Al-Baqarah:185
Macam-macam
al-mahkum fihi
Para ulama’ ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi,
yaitu: dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak
yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.[4]
Adapun dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum
fih terdiri atas :
a)
Perbuatan
itu secara material ada, tetapi tidak terkait dengan hukum syara’, seperti
makan dan minum
b)
Perbuatan
yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
pencurian dan pembunuhan yang menjadi sebab adanya hukum syara’ berupa hudud
dan qishash.
c)
Perbuatan
yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ jika sudah memenuhi
rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d)
Perbuatan
yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum
syara’ yang lain, seperti jual beli dan sewa-menyewa, artinya adanya
perpindahan hak karena adanya jual beli dan adanya hak menerima upah sebagai
akibat dari akad sewa-menyewa tadi.
Dan jika dilihat dari segi hak yang terdapat dalam terdapat dalam
perbuatan itu, maka mahkum fihdi bagi kedalam empat bentuk, yaitu :
a)
Semata-mata hak Allah, yaitu segala
yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali.
b)
Hak hamba yang terkait dengan
kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c)
Kompromi antara hak Allah dengan hak
hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak
pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
d)
Kompromi antara hak Allah dan hak
hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.
B.
Hak
Allah dan Hak Hamba
Hak Allah adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki
implikasi luas dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum. Pada titik
ini si mukallaf tidak mempunyai pilihan/alternatif selain melaksanakannya.
Dalam hak Allah ini, keputusannya diserahkan kepada waliyyul amr (penguasa),
seperti dalam hukuman qishos, had, atau ta’zir.
Sementara hak hamba adalah setiap perbuatan
yang tidak memiliki implikasi di luar diri si mukallaf. Tujuan dari perbuatan
tersebut semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri; dan dalam
pelaksanaannya dia memiliki pilihan/alternatif.
Selain dua hak di atas, ada pula hak yang tidak
murni hak Allah juga tidak murni hak hamba. Hak ini merupakan kombinasi antara
hak Allah dan hamba. Cara mengetahuinya cukup mudah. Jika tujuannya lebih
banyak untuk kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, maka yang
lebih utama adalah hak Allah dan hukumnya sama seperti hak Allah yang murni.
Namun bila perbuatan tersebut lebih banyak mengandung unsur pribadi, maka ia
dikategorikan hak hamba dan hukumnya sama seperti hak hamba yang murni.
Hak yang
sifatnya semata-mata hak Allah menurut ulama ushul fiqh, ada delapan macam,
yaitu :[5]
·
Ibadah mahdhah (Murni),
seperti iman dan rukun Islam. Ibadah
– ibadah tersebut berdasarkan dasar–dasarnya, bertujuan menegakkan agama
yang merupakan kepentingan bagi ketertiban masyarakat. Manfa’at di
syari’atkanya setiap ibadah diantaranya untuk kepentingan umum bukan untuk
kepentingan pribadi mukallaf.
·
Ibadah yang mengandung makna bantuan
atau santunan, seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat
fitrah, Karena
zakat fitrah termasuk ibadah dari segi bahwa ia termasuk sarana mendekatkan
diri kepada Allah lantaran bersedekah kepada fakir miskin. Tetapi ia bukan
ibadah murni, bahkan di dalamnya terkandung pengertian pajak jiwa demi
kelestarian dan demi terpeliharanya jiwa. Hal ini yang di maksud para
‘ulama bahwa di dalamnya terkandung pengertian kesejahteraan. Kewajiban zakat itu berlaku untuk semua orang, termasuk anak kecil/orang
gila yag belum/tidak mampu bertindak hukum.
·
Bantuan atau santunan yang
mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
·
Biaya atau santunan yang mengandung
makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman
bagi orang yang tidak ikut jihad.
·
Hukuman secara sempurna dalam
berbagai tindak pidana, seperti hukuman berbuat zina (didera atau dirajam),
hukuman pencurian (potong tangan), hukuman qadzaf (dera 80 kali). Dan
hukuman-hukuman terhadap tindak pidana ta’zir.
·
Hukuman yang tidak sempurna, seperti
seorang yang tidak diberi hak waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik
harta tersebut.
·
Hukuman yang mengandung makna
ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat dhihar, kafarat orang yang melakukan
seggama di siang hari bulan Ramadhan, dan berbagai diyat lainnya.
·
Hak-hak yang harus dibayar, seperti kewajiban
mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.
Semua bentuk hukuman ini adalah hak murni bagi
Allah. Semua itu untuk merealisir kemaslahatan manusia secara umum, disana
mukallaf tidak mempunyai pilihan. Juga tidak mempunyai hak untuk menggugurkan
kecuali haknya sendiri. Juga tidak dapat menggugurkan shalat, puasa, haji,
zakat, shodakah wajib, atau hukuman diantara hukuman-hukuman itu, karena semua
itu bukan haknya.
Hak-hak hamba dibagi menjadi dua:
·
Hak-hak hamba pada dirinya sendiri, contoh seperti
mengedepankan kebutuhan pakaian, tempat tinggal, dan nafkah untuk dirinya. Begitu juga haknya untuk tidur dan makan.
·
Hak sebagian hamba pada yang lain. Menarik setiap
kemaslahatan wajib atau sunnah, dan menolak kerusakan yang haram atau makruh,
yang dibagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, sunnah ‘ain dan sunnah
kifayah. Sebagai dasar dalilnya adalah firman Allah yang artinya: “Dan
tolong-menolong lah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan lah kamu saling
tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan bermusuhan.” Ini menunjikan
larangan terhadap sesuatu yang menyebabkan kepada kerusakan dan memerintah
kepada sesuatu yang menghasilkan maslahah.
Izzudin ibn Abd al-Salam dalam Qawa’id al-Ahkam
fi Mashalih al-Anam memilah berkumpulnya hak Allah dan hak hamba dalam 3
bagian:
a) Wajib
mendahulukan hak Allah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menuduh zina.
b)
Wajib mendahulukan hak Mukallaf, seperti bolehnya
mengucapkan kalimat kufur ketika dipaksa, dan bolehnya tayammum karena takut
sakit dan dari sebab-sebab (‘udzur) yang lain.
c)
Sesuatu yang masih diperselisihkan (khilaf),
seperti seseorang yang mati dan belum membayar zakat serta mempunyai hutang
kepada orang lain. Menurut pendapat yang shahih, yang didahulukan adalah hak
Allah. Contoh lain, jika kita menemukan bangkai dan makanan orang lain, maka
yang diutamakan adalah memakan bangkai dan mendahulukan hak manusia.
Hak itu adakalanya murni hak Allah dan adakalanya
murni hak mukallaf. Tapi terkadang dua hak itu berkumpul, sehingga membutuhkan
pendalaman serius untuk mengetahui tinggi-rendahnya kualitas keduanya.
Jika hak Allah lebih dominan, maka yang
diprioritaskan adalah hak Allah. Tapi bila hak mukallaf yang lebih dominan,
maka hak mukallaf lah yang diutamakan. Contohnya adalah mendakwa zina (had
al-qadf). Bila dakwaan zina itu bisa mendatangkan kebaikan bagi masyarakat
luas, maka ia adalah hak Allah karena manfaatnya bersifat umum. Tapi bila
dakwaan tersebut dilakukan hanya untuk menutupi aib dari terdakwa, maka ia
adalah hak mukallaf. Dalam kondisi seperti ini (hak mukallaf lebih dominan),
maka dalam masalah qishos, dia boleh mengambil diyat saja atau
memaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS,
Bandung: Pustaka Setia, 1999
Tim
MGMP DIY, Fikih dan Ushul Fikih untuk Kelas XI MAPK, Yogyakarta, 2011
Sodiqin, Dr. Ali, Fiqh Ushul Fiqh
Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda,
2012
Umam, Drs.Chaerul, Ushul Fiqh I
untuk Fakultas Syari’ah, Komponen MKDK, Bandung, Pustaka Setia 1998
[1] Dr.
Ali Shodiqin, Fiqh Ushul Fiqh “sejarah, metodologi dan implementasinya di
Indonesia”,Yogyakarta: BERANDA 2012, hlm. 137
[2] Drs.H.Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh Jakarta Timur : Rajawali Pers, 1993, hlm. 166.
[3]
Tim MGMP DIY, Fikih dan Ushul Fikih untuk Kelas XI MAPK, Yogyakarta, 2011, hlm.
101
[4]
Dr. H. Rachmat Syafe’I, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia,
1999. Hlm. 331-332
[5]
Dr. H. Rachmat Syafe’I, M.A., Ilmu Ushul Fiqih,…..hlm. 332