" Mari bersama-sama memberikan konten yang positif bagi Indonesia "

Arkan Al-Hukm (pihak penentu Hukum)

1)      Al-Hakim
Al-hakim, sebagai akar kata dari al-hukm dalam bentuk isim fa’il adalah merujuk pada subjek dari suatu pembahasan. Dalam arti tekstualnya al-hakim berarti orang yang menghukumi. Adapun dalam kajian ushul fiqh, al-hakim adalah salah satu dari rangkaian arkan al-hukm yang berarti pihak penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki, yang mana mutlak dalam posisi ini adalah Allah SWT. Karena hanya Allah-lah yang berhak menghukumi atas segala perbuatan makhluk serta yang memutuskan segala hal ihwal manusia esok pada hari kiamat sebagai proses penghukuman yang sejati[1]. Firman Allah dalam Al-Qur’an

“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik.”( Al-An’am : 57 )[2]


…Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
( An-Nisa’ : 141 )[3]
Tentang kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum tidak ada perbedaan pendapat di kalangan muslim, namun karena sang pembuat dan pelaksana hukum itu ‘tidak setara’, maka timbullah perbedaan pendapat  mengenai apakah manusia secara pribadi dapat mengenal hukum Allah atau hanya dapat mengenal melalui perantara rasul?berikut statement mereka:
a)      Mayoritas ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul melalui wahyu yang diturunkan kepadanya. Implikasinya adalah jika tidak ada Rasul yang menyampaikan wahyu tentang perintah dan larangan maka tidak ada pula taklif bagi manusia.
b)      Ulama’ Mu’tazilah mengatakan bahwa sekalipun hanya Rasul yang berhak menyampaikan hukum Allah, manusia telah dianugerahi akal yang dengan kemampuan akalnya itu ia mampu mengenal hukum Allah. Sehingga sekalipun dakwah Rasul belum sampai kepadanya, ia tetap dikenai taklif hukum.[4]
Sejalan dengan hal ini, Abu al-Husein al-Bashri (w. 436 H/ 1044 M), seorang tokoh Mu’tazilah, dalam bukunya al-mu’tamad (juz 1/370), membagi amal perbuatan manusia dalam dua kategori :[5]
-          Perbuatan aqliyyah, yaiu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran
-          Perbuatan syar’iyyah, yaitu perbuatan di mana syara’ ikut menetukan hukum dan bentuknya. Untuk kategori ini beliau membaginya lagi dalam dua bentuk :
1.      Perbuatan di mana hanya dengan syari’at dapat diketahui hukum, bentuk, dan kedudukannya sebagai ibadah pelakunya. Misalnya, ibadah sholat.
2.      Perbuatan di mana syara’ berperan mengubah, menambah, mengurangi persyaratan yang telah diketahui akal pikiran.dalam hal ini syari’at memodifikasi suatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang bersifat syar’i.

2)      Al-Mahkum Fihi
Yang dimaksud dengan al-mahkum fihi adalah objek yang dihukumi, dalam hal ini adalah perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan; dan bersifat syarat, sebab, azimah, rukhshoh, sah, serta batal.. Perbuatan orang non-mukallaf tidak dikenai hukum, misalnya perbuatan anak kecil, orang gila, orang yang tidak mengerti sama sekali peraturan syari’at.
Syarat-syarat al-mahkum fihi
Para ulama ushul fiqh mengemukakan syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum) sebagai berikut:[6]
a)      Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang dilakukansecara sempurna dan rinci sehingga suatu perintah atau larangan dapat dilaksanakan secara utuh seperti yang dikehendaki oleh al-hakim.
b)      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Artinya, ia harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
c)      Perbuatan itu haruslah sesuatu yang mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan dalam batas kemampuan manusia.
Macam-macam al-mahkum fihi
Adapun berdasarkan keberadaan al-mahkum fihi secara material dan syara’, perbuatan mukallaf dikategorikan sebagai berikut:[7]
a)      Perbuatan itu secara materi ada, tetapi tidak terkait dengan hukum syara’, seperti makan dan minum
b)      Perbuatan yang secara materi ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti pencurian dan pembunuhan yang menjadi sebab adanya hukum syara’ berupa hudud dan qishash.
c)      Perbuatan yang secara materi ada dan baru bernilai dalam syara’ jika sudah memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d)     Perbuatan yang secara materi ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti jual beli dan sewa-menyewa, artinya adanya perpindahan hak karena adanya jual beli dan adanya hak menerima upah sebagai akibat dari akad sewa-menyewa tadi.

3)      Al-Mahkum ‘Alaihi 
Yang dimaksud dengan al-mahkum ‘alaih adalah orang yang dibebani hukum, dalam hal ini adalah orang mukallaf, yakni orang yang ‘aqil baligh, sehat rohani, Islam dan sudah sampai dakwah syari’at kepadanya. Firman Allah tentang tidak adanya taklif hukum bagi orang yang tidak mampu mengerjakannya antara lain dalam Q.S. Al- Baqarah :286
Ÿ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...”(Q.S. Al-Baqarah : 286 )[8]
Rasulullah SAW bersabda :
رﻓﻊﺍﻟﻘﻠﻢﻋﻦﺛﻼﺙﻋﻦﺍﻟﺼﺒﻲﺣﺘﻰﻳﺒﻠﻎﻭﻋﻦﺍﻟﻨﺎﺋﻢﺣﺘﻰﻳﺴﺘﻴﻘﻆﻭﻋﻦﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥﺣﺘﻰﻳﻔﻴﻖ ( رواه     اﻟﺒﺨﺎﺭﻯﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲﻭﺍﺑﻦﻣﺎﺟﻪﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲﻋﻦﻋﺎﺋﺸﺔﻭﺍﺑﻲﻃﺎﻟﺐ )
“Diangkat qalam (tuntutan hukum) bagi tiga orang; anak-anak sampai ia dewasa, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia waras.”(HR. Bukhori, Nasai, Ibnu Majah, dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)
Syarat-syarat taklif
Menurut para ulama ushul fiqh seorang mukallaf bisa dikenai taklif (pembebanan hukum) jika telah memenuhi dua syarat, yaitu :[9]
a)      Orang itu telah mampu memahami khithab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun tidak langsung
b)      Orang itu harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyyah.
Ahliyyah
Secara bahasa ahliyyah adalah kecakapan menangani suatu urusan. Berkenaan dengan ini, ahliyyah dikategorikan dalam dua bentuk :[10]
a)      Ahliyyah al-ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negatif
b)      Ahliyyah al-wujub
Yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak yang menjadi bagiannya, namun ia belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, ia telah berhak menerima hibah, berhak pula menerima harta warisan dan apabila harta bendanya dirusak orang lain ia berhak menerima ganti rugi.
Halangan Ahliyyah[11]
Bahwa untuk menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa berdasarkan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, berkurang, bahkan hilang. Akibatnya mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut :
a)      Al-‘awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila.
b)      Al-‘awaridh al-muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi, atau mengubahnya. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a.       Halangan yang menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna hilang sama sekali, seperti: gila, tidur, lupa, terpaksa.
b.      Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu. Orang seperti ini ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi kecakapannya dalam bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
c.       Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti: orang yang berhutang, orang bodoh, orang lalai, orang bangkrut. Sifat-sifat ini sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada seseorang tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-hak yang membayar hutang.

DAFTAR PUSTAKA

-          Al-Qur’an Terjemah Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2006
-          Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997
-          Rachmat Syafe’I,  Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 1999
-          Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005
-          Tim MGMP DIY, Fikih dan Ushul Fikih untuk Kelas XI MAPK, Yogyakarta, 2011
-          Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2009




[1] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 40
[2] Al-Qur’an Terjemah Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2006, hlm. 134
[3] Al-Qur’an Terjemah Indonesia ….. hlm. 101
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.347-348
[5] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.70-71
[6] Tim MGMP DIY, Fikih dan Ushul Fikih untuk Kelas XI MAPK, Yogyakarta, 2011, hlm. 101
[7] Tim MGMP DIY….. hlm. 101
[8] Al-Qur’an Terjemah Indonesia ….. hlm. 49
[9] Tim MGMP DIY….. hlm. 103
[10] Tim MGMP DIY….. hlm. 103-104
[11]Rachmat Syafe’I,  Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.343-344
Share:

No comments: