Tiba-tiba aku ingin menulis tentang cinta pada saat suasana senja yang begitu mendung, di langit juga di hati. Tentang cinta antara manusia satu dengan yang lain yang berbeda jenis, bukan cinta anak kepada orangtua, cinta hamba kepada tuhannya, cinta sahabat, dsb.
Cinta?
Masing-masing orang memang sangat berbeda dalam mengartikan kata itu (baca:
Nisbi). Cinta itu perasaan yang sangat menyenangkan ketika berada di sisi orang
yang kita cintai, kata teman saya Jirjis L Farmadi. Ahh, rasa-rasanya sangat
benar sekali. Mungkin definisi itu sangatlah sederhana, tapi memang itulah yang
sedang dirasakan ketika kita berada di dekat orang yang kita cintai.
Cinta? Dari
mana sih datangnya cinta. Ada yang bilang “cinta itu dari mata turun ke hati”.
Benar juga sih. Bagaimana bisa cinta kalau tidak pernah melihat orang yang akan
kita cintai?. “tresno iku jalaran songko kulino” kata pepatah jawa. Pepatah itu
pun sangat tepat bagi kita, siapa sih yang gak bakalan cinta kalau setiap hari
ketemu, curhat, sms an, BBM an, chatingan, dsb. Bahkan masih ada yang pake
surat-suratan, tukeran puisi, cerpen, atau media lain. Mungkin kebanyakan orang
akan jadi cinta bila seperti di atas, karena intensitas kagiatan seperti itu
akan menuntut seseorang menjadi perhatian, curhat tentang keluarga, saudaranya,
teman-temannya, bahkan sampai pada cerita yang sebenarnya tidak perlu untuk
diceritakan. Aktifitas seperti demikian akan menimbulkan rasa yang katakanlah
“aneh”, mulai dari kesepian kalau tidak ada kabar, tidak ketemu, tidak peduli,
dan beberapa rasa “tak seperti biasanya”.
Kenapa kita
mencintai seseorang? Karena itu merupakan sifat primordial yang dimiliki oleh
manusia (baca; fitrah). Tuhan menganugerahkan sifat-Nya kepada ciptaan-Nya,
yakni cinta. Cinta antara manusia satu dengan yang lain yang berbeda jenis,
laki-laki dan perempuan.
Lalu dengan
apa kita mewujudkan cinta itu? Lebih sederhananya –namun sulitnya minta ampun,
yaitu memberi, ya memberi tanpa ada harapan akan balasan. Terkadang kita
menuntut dan bertanya, kenapa orang yang kita cintai itu ternyata tidak
menyintai kita, tidak membalas cinta yang kita berikan, dan ujung-ujungnya kita
mengubur pelan-pelan cinta yang ada dalam diri kita untuk orang tersebut.
Memberi apa?
Memberi apa yang kita punya, mulai dari perhatian, pelajaran, berbagi
kebahagiaan. Lalu apa yang terjadi di sekeliling realitas kita sehari-hari? Ada
yang mewujudkan cintanya dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai
religius yang diyakininya, misalnya sampai melakukan hubungan intim. Boleh?
Lebih baik kita kembalikan pertanyaan itu pada hati nurani kita sendiri. Sebab
yang tahu baik buruk itu hati kita. Bisa dikatakan semua orang –yang normal,
menginginkan hal seperti itu, karena itu juga fitrah yang dimiliki oleh manusia,
namun alangkah baiknya apa yang kita lakukan harus sesuai dengan apa yang kita
ketahui dan kita yakini. Kalau kita tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah salah,
maka jangan kita lakukan. Karena dosa orang yang tahu itu lebih besar dari pada
dosa yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu.
Cinta itu
suci –kata orang-orang yang sering kedengar, karena cinta memang salah satu
sifat Tuhan itu sendiri. Demikian sangat amat disayangkan bila kita mengotori
kata cinta itu sendiri dengan hal yang tidak baik. Suatu hari ada status
twitter teman perempuan saya “jika lelaki cinta kepadamu karena dada dan
pahamu, tendang saja penisnya”.Hal itu menunjukkan sangat hina apabila kita
mengatasnamakan cinta demi kelamin. Lebih baik pergi ke lokalisasi bayar sesuai
tarif yang disepakati, dari pada harus mengatasnamakan cinta demi berahi.
Kita bisa
membayangkan sendiri betapa sakitnya perempuan yang terluka karena bualan demi
cinta yang dikotori oleh para lelaki yang ingin menghancurkan masa depan
perempuan itu.
Faktanya,
yang selalu dirugikan itu pihak perempuan, para lekaki mayoritas tidak begitu
peduli dengan hal itu. Beruntung bila lelaki mau tanggung jawab, bila tidak?.
Itu akan menghancurkan masa depan perempuan itu sendiri.
No comments:
Post a Comment