Tempatnya di dalam
pikiran
Tujuan bukan utama
Yang utama adalah
prosesnya
Kita hidup mencari
bahagia
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi
pekerti
Itulah nasehat para nabi
Ingin bahagia, derita
didapat
Karena ingin sumber
derita
Harta dunia jadi penggoda
Membuat miskin jiwa kita
Ada benarnya nasehat
orang-orang suci
Memberi itu terangkan
hati
Seperti matahari yang
menyinari bumi
(Tidak tahu album apa
tahun berapa. Hehe)
Seperti matahari, ya
lebih kurang seperti itu pesan dari lirik di atas. Banyak sekali karya-karya
Bang Iwan yang mengubah sekaligus memberi inspirasiku dalam menjalani kehidupan
ini. Terutama dalam memaknai hidup ini yang amat sangat sarat akan subyektif.
Masing-masing orang mempunyai persepsi sendiri bagaimana ia harus hidup dan
menjalaninya sekaligus orientasinya. Dan kebetulan aku sependapat dengan
mayoritas karya Bang Iwan.
Keinginan adalah
sumber penderitaan/tempatnya di dalam pikiran. Keinginan, tentu bukan semua
keinginan adalah sumber penderitaan, karena ada juga keinginan-keinginan
positif yang justru menjadikan kita semangat, namun pada kalimat di atas, lebih
pada keinginan yang berujung nafsu. Kita –atau bila kurang tepat yaitu aku
sendiri- terlalu sering dihantui oleh keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak
begitu kita butuhkan, sehingga keinginan itu mengubah dan memengaruhi sistem
pola pikir kita yang selalu dihantui untuk bagaimana biar keinginan itu bisa
terwujud –bahkan sampai menggunakan cara yang sebenarnya tidak baik. Tidak
perlu kuberikan contoh karena aku yakin sudah mengerti dengan melihat realitas
yang ada di sekitar kita.
Tujuan bukan utama/yang
utama adalah prosesnya. Begitu banyak orang yang mempunyai tujuan yang
sangat baik, namun sedikit yang menggunakan proses yang baik pula. Banyak orang
yang menghalalkan segala cara agar ia bisa mencapai tujuan itu sendiri, tak
peduli curang, culas, dan bahkan sampai membunuh satu dengan yang lain. Sebaik
apapun tujuan, bila tidak dibarengi dengan proses yang baik, maka seperti
halnya tingkah hewan. Secara tidak langsung manusia sendirilah yang merendahkan
derajatnya sebagai manusia.
Kita hidup mencari
bahagia/Harta dunia kendaraannya/Bahan bakarnya budi pekerti/Itulah nasehat
para Nabi. Tidak ada orang yang bertujuan ingin hidup susah, tidak ada.
Secara universal manusia ingin mencapai kebahagiaan –tentu dengan cara dan
pemaknaan kebahagiaan itu juga amat sangat relatif/nisbi. Kita hidup di dunia,
maka dunia itu kita jadikan sebagai kendaraan. Selaras dengan hadits Rasulullah
yang mengatakan bahwa “Dunia adalah ladangnya akhirat”. Tentu tidak semata-mata
dengan kendaraan itu kita bisa bahagia, masih ada yang namanya budi pekerti/akhlak/moral/etika,
dsb. Manusia bisa dianggap manusia bila ia mempunyai akhlak, orang tidak akan
dinaikkan derajatnya bila akhlaknya tidak ada. Nabi pernah bersabda “Manusia
adalah hewan yang berakal”. Hadits Qudsi juga ada “Tidak lain Aku mengutus Kau
(muhaammad) untuk menyempurnakan akhlak”
Betapa akhlak itu
sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia? Sehingga Nabi Muhammad pun
tidak hanya menyampaikan risalah Tuhan, pula menyempurnakan akhlak. Jadi yang
terpenting untuk kita garisbawahi bahwasannya kita hidup tidak hanya di dunia,
melainkan juga di akhirat. Jalan menuju ke akhirat itu melalui dunia, dunia
kita jadikan sebagai kendaraan untuk mencapai dan menuju akhirat, tentu dengan
akhlak yang baik dalam merengkuh kebahagiaan dunia.
Ingin bahagia, derita didapat/Karena ingin sumber
derita/Harta dunia jadi penggoda/Membuat miskin jiwa kita. Manusia itu tidak akan pernah ada puasnya dengan
apa yang dimilikinya. Itu apabila manusia tidak bisa mengontrol nafsunya,
karena manusai telah diperbudak oleh nafsu tersebut. Semakin manusia merasa
ingin, maka di situlah kemiskinan.
Orang miskin itu bukan ia yang kekurangan harta,
namun ia yang tidak bisa mensyukuri nikmat Allah yang tak terbatas untuk
makhluk-Nya. Semiskin apapun harta seseorang, bila ia merasa syukur, maka
kemiskinan itu tidak ada arti baginya, karena ia percaya bahwa Allah tidak akan
pernah mendholimi makhluk-Nya sendiri.
Ada benarnya nasehat orang-orang suci/Memberi itu
terangkan hati/Seperti matahari yang menyinari bumi. Ada kalimat yang sering kudengar dari temanku,
“jangan pernah berpikir apa yang bisa kudapatkan dari orang lain, tapi
berpikirlah tentang apa yang belum kuberikan untuk orang lain”. Jujur, memang
sulit untuk memberikan sesuatu yang kita punya kepada orang lain, jangankan
orang lain, kerabat dekat kita saja terkadang kita masih merasa eman-eman. Kita
masih meragukan balasan yang Allah berikan kepada kita bila mampu memberikan
sesuatu kepada orang lain. Pada jelas Allah berfirman di QS, al An’am: 160.
“Barang siapa yang mendatangkan satu kebajikan, maka baginya balasan 10 kali
lipat dari kebajikan itu. Dan barang siapa mendatangkan keburukan maka baginya
balasan yang sesuai dengan keburukan itu.”
Namun kita terlampau sering hanya memercayai
sesuatu yang sudah ada di depan mata, dan manusia memang sulit untuk percaya,
karena sudah tidak kontrol lagi dengan makhluk Allah yang bernama nafsu. Kita
percaya bahwa Allah tidak mungkin mengingkari janji, namun balasan sepuluh kali
lipat itu menjadi sesuatu yang tidak berarti bila seketika itu diberikan kepada
manusia secara langsung. Manusia dituntut untuk sabar dalam penantian pahala
itu.
“Sekali-kali kamu tidak akan memperoleh kebaikan
yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan dari sebagian harta yang kamu senangi”
(QS. Ali Imran: 92).
No comments:
Post a Comment