Standar ganda adalah hal biasa dalam republik ini. Pun dengan
institusi pendidikan yang wajib berwibawa secara akademik dan nalar.
Maka dalam sebuah kampus, harus setiap orang atau kelompok bebas
berdialektika dalam bentuk diskusi, riset, lontaran ide atau praktek2
intelektual dengan bebas tapa rasa takut kriminalisasi apalagi teror
dari kekuasaan kampus, negara, militer, perusahaan atau juga preman
tengik.
Namun apa lacur karena toleransi adalah sedekah kaum mayoritas pada minoritas, yang bisa sesuka hati menarik, merampas, dan undat2 toleransi yang harus equal among the citizen. Dan berkah privelege brengsek itu diberikan dengan sempurna kepada Zakir Naik.
Namun apa lacur karena toleransi adalah sedekah kaum mayoritas pada minoritas, yang bisa sesuka hati menarik, merampas, dan undat2 toleransi yang harus equal among the citizen. Dan berkah privelege brengsek itu diberikan dengan sempurna kepada Zakir Naik.
Alih2 berbicara ilmiah dan akademik penuh debat nalar yang njalur,
Zakir Naik malah tak ubahnya tukang jamu cum orang suci yang selalu
benar dengan pendapatnya sendiri. Jelas kedatangan yang difasilitasi
oleh kampus negeri itu menista akal sehat dan sifat properti publik yang
harusnya bhineka tunggal ika. Kalau swasta mah suka2 pemilik yayasan
meski itu juga menista nalar akademik. Karena diselenggarakan di kampus
dan kaum mayoritas Indonesia, maka privelege ilmiah serta menange dewe
diperoleh Zakir Naik, artinya tanpa takut kejerat pasal penodaan agama.
Tapi kita tidak lupa bahwa banyak sekali privelege diperoleh oleh pembicara lain, yangnkadang dan tentu lebih ilmiah dibanding dengan Zakir Naik. Selain karena proffesorship atau kajian dibawah naungan akademik yang mereka lakukan. Kita masih ingat bagaimana UGM membatalkan Irshad Manji karena alasan tidak masuk akal. Pun begitu dengan Dr. Haidar Bagir di STAIN Surakarta. Atau Dr. Dede Utomo yang menjadi pembicara bab gender di kampus Jember. Atau penyerbuan kelompok preman di Pusham UII serta masih banyak lagi.
Betapa memalukannya kampus2 yang menampung Zakir Naik dan pasrah dengan tekanan non akademik. Kampus2 itu telah gagal menjadi benteng akal sehat dan intelektualisme yang berpikir, berucap dan bertindak berdasar norma ilmiah dan rasionalitas. Jangan heran kalau kampus dan awaknya kepleset menjadi semacam intellectuals with the guns yang berjuang untuk perusahaan, penguasa, dan ndoro funding.
oleh : Sigit Budi
Tapi kita tidak lupa bahwa banyak sekali privelege diperoleh oleh pembicara lain, yangnkadang dan tentu lebih ilmiah dibanding dengan Zakir Naik. Selain karena proffesorship atau kajian dibawah naungan akademik yang mereka lakukan. Kita masih ingat bagaimana UGM membatalkan Irshad Manji karena alasan tidak masuk akal. Pun begitu dengan Dr. Haidar Bagir di STAIN Surakarta. Atau Dr. Dede Utomo yang menjadi pembicara bab gender di kampus Jember. Atau penyerbuan kelompok preman di Pusham UII serta masih banyak lagi.
Betapa memalukannya kampus2 yang menampung Zakir Naik dan pasrah dengan tekanan non akademik. Kampus2 itu telah gagal menjadi benteng akal sehat dan intelektualisme yang berpikir, berucap dan bertindak berdasar norma ilmiah dan rasionalitas. Jangan heran kalau kampus dan awaknya kepleset menjadi semacam intellectuals with the guns yang berjuang untuk perusahaan, penguasa, dan ndoro funding.
oleh : Sigit Budi
No comments:
Post a Comment