Oleh Sigit Budi
Tidak bisa hidup hanya dengan pujian, sorak sorai, medali bersepuh emas dan piagam penghargaan. Mereka butuh beras. - Bagong Kussudiardja
Kemarin secara tidak sengaja Googling sesuatu dan menemukan nama saya sendiri dalam catalog perpustakaan nasional Australia. Loh jadi terbit juga buku ini, ucap saya heran.
Tidak bisa hidup hanya dengan pujian, sorak sorai, medali bersepuh emas dan piagam penghargaan. Mereka butuh beras. - Bagong Kussudiardja
Kemarin secara tidak sengaja Googling sesuatu dan menemukan nama saya sendiri dalam catalog perpustakaan nasional Australia. Loh jadi terbit juga buku ini, ucap saya heran.
Bagaimana tidak heran, buku berjudul "Filantropi di Indonesia: Mengapa
Tidak untuk Seni?" ini saya tulis 8 tahun lalu tandem dengan mas HA,
seorang lagi ZAEP, membantu di lapangan.
Sebetulnya sempat diberitahu oleh Yayasan Filantropi Indonesia setahun lalu, bertepatan dengan heboh Art Jog 2016. Saat itu banyak protes seniman kepada penyelenggara. Perang sosial media pun ramai. Saya sempat terbitkan pula potongan tulisan saya di Kalatida. Dan tentu mengisi diskusi Filantropi Seni di Mess 56 Jogjakarta. Mungkin menimbang relevansinya dengan peristiwa hari ini, maka Yayasan Filantropi Indonesia akhinya menerbitan buku tersebut dalam bentuk cetak.
Secara isi sih kalau saya baca lagi hari ini kadang ya malu. Epistimologi saya berkembang, untuk beberapa hal saya baca naif buku itu. Perlu banyak koreksi ulang. Tapi secara ide dan temuan lapangan sangat relevan dan masih terjerumus pada persoalan yang sama. Yang kaya tambah kaya, yang miskin ya begitu saja. Dispasritas tinggi. Solidaritas rendah. Tidak heran, potensi aktivitas seni dann kreativitas dibajak oleh kekuatan kapitalis perusak tinggi. Seperti ungkap Bagong, mereka butuh beras, bukan pujian.
Nah keluhan Bagong pun semakin nyata terlihat di wall FB para orang kreatif yang hidup berbasis tulisan, sket, tari, imajinasi, goretan kuas, dsb. Mereka butuh beras, bukan pujian atau sorak sorai.
Sebetulnya sempat diberitahu oleh Yayasan Filantropi Indonesia setahun lalu, bertepatan dengan heboh Art Jog 2016. Saat itu banyak protes seniman kepada penyelenggara. Perang sosial media pun ramai. Saya sempat terbitkan pula potongan tulisan saya di Kalatida. Dan tentu mengisi diskusi Filantropi Seni di Mess 56 Jogjakarta. Mungkin menimbang relevansinya dengan peristiwa hari ini, maka Yayasan Filantropi Indonesia akhinya menerbitan buku tersebut dalam bentuk cetak.
Secara isi sih kalau saya baca lagi hari ini kadang ya malu. Epistimologi saya berkembang, untuk beberapa hal saya baca naif buku itu. Perlu banyak koreksi ulang. Tapi secara ide dan temuan lapangan sangat relevan dan masih terjerumus pada persoalan yang sama. Yang kaya tambah kaya, yang miskin ya begitu saja. Dispasritas tinggi. Solidaritas rendah. Tidak heran, potensi aktivitas seni dann kreativitas dibajak oleh kekuatan kapitalis perusak tinggi. Seperti ungkap Bagong, mereka butuh beras, bukan pujian.
Nah keluhan Bagong pun semakin nyata terlihat di wall FB para orang kreatif yang hidup berbasis tulisan, sket, tari, imajinasi, goretan kuas, dsb. Mereka butuh beras, bukan pujian atau sorak sorai.
No comments:
Post a Comment