Yang
kanan mentok sama liberal karbitan mempunyai reaksi yang sama ketika
idola mereka disangkakan berbuat salah. Ketika chat WA Rizieq dan
plagiasi Afi.
Kenapa? Karena tidak dipahaminya dan dilakoninya
hal-hal yang prinsip. Hanya permukaan yang sama. Istilahnya pada
literasi tahap pertama saja: membaca menulis. Belum literasi tahap
kedua, yang tidak hanya dalam kerangka konteks dan gerakan perubahan.
Maka wajar kalau ada yang senang gembira dan membolehkan ketika Banser
Ansor melakukan persekusi atau intimidasi orang yang menghina Gus Mus.
Ini kapasitas polisi.
.
Marah dan ngamuk ketika FPI melakukan
persekusi. Senang gembira ketika Buni Yani kena pasal ITE. Senang
ngurusi bab kenthu Rizieq. Heloww kok pilih kasih.
Jelas musuh
demokrasi itu FPI, RS dan mereka yang menggunakan kebencian berbasis
SARA dan kekerasan. Tapi apa lantas gebug dan main kasar seenaknya
sedang kita mengimani imajinasi moral bernama HAM dan Demokrasi sebagai
hal prinsip mengatur hidup beragam hari ini? Tentu tidak.
Jadi
prinsip HAM dengan operasionalnya dilakukan demokrasi yang ditopang
negara, setiap orang bebas mengemukakan pendapat dan mengartikulasikan
haknya.
Ide seperti apapun itu bebas dijalani dan dimiliki oleh
orang per orang atau kelompok. Yang bisa dikriminalkan adalah
ekspresinya. Jadi yang ada di kepala tidak bisa dikriminalkan. Tapi
boleh dikriminalkan adalah ekspresinya. Misalnya adalah dengan
menyerukan, mengajarkan, dan mengancam kekerasan atau pembunuhan.
Apalagi sampai membawa alat bersenjata yang bisa membunuh dan melukai
orang.
Disini jelas HAM mempunyai batas2 (terimakasih mas Anick
Ht, melekat dikepala saya) yang dikonvesikan secara bersama di dunia
seperti di ICCPR dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pembatasan yang mensyaratkan melalui Undang-undang itu dapat dilakukan
untuk melindungi ketertiban umum, keselamatan masyarakat, kesehatan
masyarakat, moral masyarakat, dan pembatasan untuk melindungi kebebasan
mendasar dan kebebasan orang lain.
Batasnya misalnya saya adalah
ketua sekte atau denominasi agama A. Nah dalam anjuran dan praktek
ibadahnya itu saya wajibkan jemaat saya untuk melakukan swinger atau
gangbang atau sejenisnya yang berpotensi menyebarkan HIV AIDS atau
penyakit kelamin menular. Negara atau dalam hal ini tidak bisa menangkap
dan mengadili saya karena ajaran saya atau moral privat, tapi mereka
bisa menangkap dan mengadili saya karena ekspresi dan anjuran
keberagamaan saya itu mengancam kesehatan masyarakat.
Jadi
clear, yang ada di kepala tidak bisa diadili. Baik komunisme, atheisme,
marxisme, papua merdeka, Islam fundamentalis atau kanan mentok lain bisa
hidup dalam demokrasi atau negara Indonesia.
Kembali lagi ke
awal. Yang selalu saya contohkan adalah misalnya organisasi Mahasiswa
Sleman memiliki izin untuk demo damai dan punya badan hukum misalnya,
lalu dalam orasinya mengutarakan Sleman harus merdeka dan mengibarkan
bendera. Itu ga pa pa. Dibubarkan harus lewat pengadilan. Tentara dan
polisi satu-satunya alat negara yang bisa dan syah menggunakan kekuatan
kekerasan dan senjata pun tidak boleh membubarkan atau menangkap secara
paksa mereka. Kecuali para demonstran ini bersenjata dengan ucapan dan
tindakan mengancam dan melakukan kekerasan pada warga negara lain yang
mereka temui.
Jadi pembubaran pada organisasi berbadan hukum itu
praktik otoritarian. Semua harus dibubarkan di depan pengadilan. Nah
yang ajaib dan menjadi pertanyaan adalah kenapa HTI yang jelas tidak
berdasar Pancasila, NKRI, dan UUD 45 serta selalu mengujarkan kebencian
dan ancaman pada Pancasila, mengucap kafir dsb itu bisa mendapat legal
formal di negeri ini pada 2014? Jelas itu ada korupsi atau akal-akalan
dalam pengeluaran izinnya. Jadi tetap pembubaran HTI harus lewat
pengadilan.
PNPS atau pasal penodaaan agama itu jelas melanggar
HAM dan harus konsisten ditolak dan tidak boleh diperlakukan suka-suka
keinginan pasar politik. Kenapa? Pasal penodaan agama berpeluang besar
menjadi alat kriminalisasi kelompok mayoritas pada minoritas. Telah
banyak korban jatuh dan masuk penjara karena memiliki keyakinan atau
denominasi yang berbeda dengan kekuatan mayoritas. Bisa itu karena dia
minoritas di dalam Islam. Gampang pula karena dia minoritas dalam
Kristen. Itu yang seagama saja mudah dihajar pakai pasal ini. Apalagi
dengan yang diluar agama atau aliran kepercayaan kecil. Jadi membela
Ahok itu karena persoalan prinsip, alay sorak hore.
Hal mendasar
lain yang selalu dilupakan kelas menengah dan intelektual sorak hore
adalah sumbangan marxisme bahwa kita di dunia ini tidak dalam kondisi
default yang sama. Atau berangkat dalam kemewahan hidup yang sama. semua
partikular. Jadi kalau setelah hidup menang-menangan dalam feodalisme,
kolonialisme dan sekarang negara bangsa kita ga bisa dilepaskan begitu
saja dalam mekanisme pasar lagi berkedok negara bangsa. Negara harus
menengahi dan menadministrasikan keadilan serta kesejahteraan. Fuck yang
sok-sok liberal universal tapi tidak paham yang prinsip dan tidak
berpihak pada yang lemah. Tidak menyadari bahwa perjuangan kelas karena
kita tidak berangkat dalam default yang sama itu sama juga menjadi
benteng status quo.
Jadi intinya adalah tolak pasal penodaan agama, PNPS, UU Pornografi, Pencemaran Nama Baik, dan ITE. Ga benar itu barang.