Imajinasi moral agama sering kali lahir dari sebuah ide bukan
pengalaman. Hal ini lantas berbahaya ketika diterjemahkan secara
tekstual. Agama sebagai imajinasi moral dalam tafsir kaum
tekstualis menjadi antimanusia, dia menjadi imajinasi diabolik yang
menemukan massa dan legitimasi kekerasannya. Aka tidak heran
ketika elit tekstual menyeru membela agama, mereka hanya mampu melihat
apa yang menjadi lawan kepentingan-kepentingan sebagai laki-laki, orang
normal, orang kenyang, tidak sakit dan sempurna lain.
Isu perlawanannya pun mengawang tidak terjangkau mereka kesehariannya
lapar, tidak mampu sekolah, sakit, berorientasi beda, dan keunikan nan
malang hidup manusia kebanyakan.
Mereka pun menghardik anak-anak
kecil yang bermain sembari belajar sosial di rumah Tuhan sebagai
pengganggu ibadah orang-orang dewasa. Mereka membahayakan keselamatan
anak-anak kecil sedang mereka egoistis memprivelege ibadahnya. Sedang
Kanjeng Nabi beribadah dengan santai sambil memeluk, mengendong,
mengemong lebih mengutamakan keselamatan anak dan tempat ibadah
dimakmuri oleh anak-anak. Jikalau saya cacat, ngompolan suka
kecirit, kereta dorong saya terkena tahi lincung, dan hal-hal najis lain
tentu pemahaman-pemahaman tekstualis melarang saya dekat dengan Tuhan
yang mereka sembah secara ritualistik. Mereka tidak mau tahu
bahwa setiap orang tidak lahir dengan privelege yang sama, dalam kondisi
default yang sama setelah ribuan tahun penindasan, feodalisme,
kolonialisme, dan egara bangsa dengan pseudo kemanusiaan. Maka wajar
jika para tekstualis ini masih bersikap menang-menang dalam kerangka
darwinisme sosial. Para tekstualis ini akan menindas jikalau ada
kekuasaan ditangan mereka. Para tektualis ini akan mencari muka,
menjilat pantat dan berkhianat ketika mereka hidup tanpa kekuasaan.
Maka tidak akan diterima dengan baik ibadah tekstualis tanpa konteks
perjuangan kelas, (pun demikian bagi agnostik dan ateis, privelege hidup
mereka ethically incorrect) yaitu mereka yang beribadah umroh haji,
puasa, menuntut ilmu, dsb yang menjadi privelege kelas menengah atas itu
jika masih di dalam rumah tangga mereka (ART), tetangga samping tembok
atau seberang kampung, saudara kandung sepupu dua pupu, dan manusia
sepanjang jalan dia lalui masih belum menikmati hal mendasar dan rasa
merdeka karena kekurangan duit, lemah kesehatan, lemah akal.
Bukankah agama sebagai imajinasi moral bertujuan asuransi kemanusiaan dalam segala kemalanga, suka dan duka?
Bagian dari refleksi ramadan maka ada baiknya menonton dan membaca dari thepiratebay.se:
Trilogi Deepa Mehta - water Fire Earth
Agora Hypatia dari Alexandria
City of Joy - Dominique Lapierre, Wardah Hafidz
No comments:
Post a Comment