" Mari bersama-sama memberikan konten yang positif bagi Indonesia "

Agama dan Kontruksi Budaya

Imajinasi moral agama sering kali lahir dari sebuah ide bukan pengalaman. Hal ini lantas berbahaya ketika diterjemahkan secara tekstual. Agama sebagai imajinasi moral dalam tafsir kaum tekstualis menjadi antimanusia, dia menjadi imajinasi diabolik yang menemukan massa dan legitimasi kekerasannya. Aka tidak heran ketika elit tekstual menyeru membela agama, mereka hanya mampu melihat apa yang menjadi lawan kepentingan-kepentingan sebagai laki-laki, orang normal, orang kenyang, tidak sakit dan sempurna lain.
Isu perlawanannya pun mengawang tidak terjangkau mereka kesehariannya lapar, tidak mampu sekolah, sakit, berorientasi beda, dan keunikan nan malang hidup manusia kebanyakan.
Mereka pun menghardik anak-anak kecil yang bermain sembari belajar sosial di rumah Tuhan sebagai pengganggu ibadah orang-orang dewasa. Mereka membahayakan keselamatan anak-anak kecil sedang mereka egoistis memprivelege ibadahnya. Sedang Kanjeng Nabi beribadah dengan santai sambil memeluk, mengendong, mengemong lebih mengutamakan keselamatan anak dan tempat ibadah dimakmuri oleh anak-anak. Jikalau saya cacat, ngompolan suka kecirit, kereta dorong saya terkena tahi lincung, dan hal-hal najis lain tentu pemahaman-pemahaman tekstualis melarang saya dekat dengan Tuhan yang mereka sembah secara ritualistik. Mereka tidak mau tahu bahwa setiap orang tidak lahir dengan privelege yang sama, dalam kondisi default yang sama setelah ribuan tahun penindasan, feodalisme, kolonialisme, dan egara bangsa dengan pseudo kemanusiaan. Maka wajar jika para tekstualis ini masih bersikap menang-menang dalam kerangka darwinisme sosial. Para tekstualis ini akan menindas jikalau ada kekuasaan ditangan mereka. Para tektualis ini akan mencari muka, menjilat pantat dan berkhianat ketika mereka hidup tanpa kekuasaan.
Maka tidak akan diterima dengan baik ibadah tekstualis tanpa konteks perjuangan kelas, (pun demikian bagi agnostik dan ateis, privelege hidup mereka ethically incorrect) yaitu mereka yang beribadah umroh haji, puasa, menuntut ilmu, dsb yang menjadi privelege kelas menengah atas itu jika masih di dalam rumah tangga mereka (ART), tetangga samping tembok atau seberang kampung, saudara kandung sepupu dua pupu, dan manusia sepanjang jalan dia lalui masih belum menikmati hal mendasar dan rasa merdeka karena kekurangan duit, lemah kesehatan, lemah akal.
Bukankah agama sebagai imajinasi moral bertujuan asuransi kemanusiaan dalam segala kemalanga, suka dan duka?
Bagian dari refleksi ramadan maka ada baiknya menonton dan membaca dari thepiratebay.se:
Trilogi Deepa Mehta - water Fire Earth
Agora Hypatia dari Alexandria
City of Joy - Dominique Lapierre, Wardah Hafidz
Share:

No comments: