" Mari bersama-sama memberikan konten yang positif bagi Indonesia "

Antara 'Kebutuhan' dan 'Pengabdian'

Bagi mereka yang telah merantau dalam buku-buku, perjalanan jauh, dan dalam segala bentuk dialogis lain, maka kitab-kita suci dan agama dengan segala keindahan dan kemuliaannya akan semakin cemerlang nampak tidak hanya sebagai imajinasi moral tapi juga etik hidup.
Perantauan dalam buku, perjalanan, dan dialog2 tidak hanya membuka seseorang untuk sadar bahwa dunia dan kompleksitasnya tidak sebesar cangkang kepalanya. Tapi semua itu juga memberikan kemampuan perantau itu untuk berpikir dan berefleksi. Maka membaca tidak hanya dalam hal tekstualis, tapi konteks; menimba ilmu dari lahir ke Tiongkok hingga liang lahat, dan berakal/berpikir menjadi hal pokok, yang diserukan para Pengkabar, bagi mereka yang hendak beragama. .
Tanpa perantauan-perantauan itu, agama dan kitab suci tidak ubahnya sebuah tembok besar, tebal, tinggi namun kasat mata layaknya tempurung kaca yang setiap saat meledak melampaui kekuatan bom hidrogen. Meledakan mereka yang ada di tempurung kaca, tentu menghancurkan peradaban di sekitar itu.
Maka mencegah intoleransi tidak lain tidak bukan dengan memberi hak setara dan sama setiap orang tanpa kecuali untuk menikmati komunitas epistemik apa itu dalam kampus atau ruang kreatif. Selain tentu akses kesehatan, rumah, dan pekerjaan yang baik.
Maka lucu saja mendeklarasikan kampus Pancasila atau kaing-kaing soal intoleransi, sedang sebagai kelas menengah dan elit di kampus dan kebijakan begitu eklusif antimanusia lemah dan miskin.
Emang kaum intoleran banyak yang bergelar tinggi, tapi bukankan mereka produk pendidikan menindas, serta lembaga pendidikan tempat bertemunya para pembeli dan penjual informasi?
Share:
Read More

Gagal Setting

Buang-buang uang tiada hasil intelektual dan tidak merangkul setiap warga negara untuk mendapat pendidikan layak.
Alkisah sudah bertahun berkunjung ke Indonesian Publication Index (IPI) atau Portal Garuda. Selama ini saya mengira, situs untuk mengindeks karya ilmiah ini diinisiasi oleh LIPI atau minimal Kemendikbud atau Kemenristek alias digawangi dan dibiayai oleh negara. Lah Jebule mung LSM yang diinisiasi akademisi kampus swasta, beberapa negeri. Dan kantor pusatnya pun di Bantul. Persis dengan kbbi.web.id yang menurut saya paling canggih dibanding buatan Balai Bahasa, cuman buatan Sleman.
Dunia intelektual seperti kampus atau ASN yang nyaman dengan segala hal, dan dana sertifikasi serta budget pendidikan yang mencapai 20 % APBN itu sudah hampir 10 tahun. Dan tidak yakin menjadikan negeri ini gagah dalam produksi jurnal, penemuan ilmiah, paten, dan hal kreatif lain tingkat dunia. Apalagi dana itu untuk menginklusikan setiap warga negara untuk bisa sekolah bebas dan tanpa pandangbulu.
Liberalisasinya selalu kebawah. Tumpul ke atas. Liberalisasinya hanya finansial dibebankan dan disasarkan kepada mahasiswa, pelajar yang diperlakukan sebagai konsumen. Liberalisasinya tumpul ke atas alias tidak menyasar reformasi birokrasi alias intelektual kampus atau ASN kementerian kalau tidak punya karya ilmiah atau pengabdian masyarakat dalam setahun ya harusnya tidak boleh mengajar, dalam tiga tahun ga mutu ya harus dipecat. Perkecualian hanya force major seperti musibah cacat permanen. Selebihnya lelang jabatan, biar fair.
Dunia intelektual dengan segala gedung dan fasilitas mewahnya yang yang dibiyai oleh pajak itu ekslusif berkontribusi pada intoleransi dan persoalan sosial lain. Karena sebagai menara gading selian jadi berhala juga congkak, rakus menjadi intellectual with the guns. Pun juga sering dibajak dengan kegiatan antiintelektual dengan menghost atau memberi fasilitas pada tindak non intelektual semacam Zakir Naik.
Sungguh betapa jauh panggang intelektual negeri ini dari api intelektual.
Share:
Read More

Karya sang Bocah Nakal

Suatu hari di tahun 2007, saya menonton pentas padhang mbulan / kenduri cinta Kyai Kanjeng di TIM. Kerumunan orang hanya konsentrasi pada panggung. Saat itu Bertha didapuk nyanyi. Mbah Surip ndoprok di pojokan.
Selesai Bertha bernyanyi, Cak Nun bangkit memegang mic memohon dengan bahasa Jawa seorang yang dia hormati untuk berada di panggung bersama mereka, Kyai Kanjeng. Semua mata menoleh ke belakang, mencari tahu siapa gerangan yang diminta sang bintang panggung malam itu.
Mata elang Cak Nun tidak lain meminta seorang penunggang sepeda motor sport hijau yang berambut gondrong dan kaos turtle neck methet awak u can see. Kacamata hitam yang dijadikan bando rambut, jaket jeans yang disampirkan pada stang motor, dan sepatu boots itu membuat saya bertanya siapa gerangan si bocah tua nakal itu.
Cak Nun masih merayu mendapuk laki-laki paruh baya yang menonton pentas malam itu dengan seorang perempuan muda itu. Tepuk tangan bergemuruh mendukung usulan Cak Nun agar si bocah tua nakal itu naik ke panggung. Beberapa awak Kyai Kanjeng mendekati pria bermotor sport yang menyampirkan helm itu.
Perlahan hati si bocah tua nakal luluh oleh gemuruh tepuk tangan dan rayuan Jowoan Cak Nun. Perlahan laki-laki bernama Imam Soekarno itu mengancang turun dari motornya. Dia berbincang sejenak dengan perempuan yang diboncengnya.
Penonton yang lebur semakin bergemuruh. Cak Nun pun akhirnya dengan tawa menang akhirnya menyebut nama si bocah tua nakal, yang saya anggap menolak tua itu, ketika telah beringsut dari motor. Cak Nun tidak lagi memangil akrab dengan kata "Cak" tapi dengan nama kiranya dikenal orang awam macam saya: Leo Kristi.
Damai di surga!
Update:
Suatu hari di TBY, gara2 senar gitar yang dimainkan oleh LK itu putus, LK ngambek sama panitia dan pergi begitu saja meninggalkan panggung. LKers paham betul dengan gaya jalanan LK, dan panitia serta kawan2 LK butuh waktu 120 menit untuk membujuk LK untuk kembali ke pentas. Gombloh sempat memberi julukan LK ini seorang nasionalis cengeng. (Diriwayatkan oleh AS)
Sumber lisan lain yg saya peroleh dari tukang sett sound LK, beliau ini hidup dari fans yang kaya2, fans abadinya banyak. Di hadapan LKers, LK adalah nabi, begitu idealis, wajar jika hidup biasa. Penampilannya di panggung sangat fenomenal dan menjiwai total. Dan dibawah besutan kandidat doktor SS, karir LK bertahan sampai meninggal.
Share:
Read More

Aku dan Ideologi Ham

Segala bentuk ideologi tidak boleh dilarang oleh sebab apapun. Sebab apa yang ada di kepala itu bebas dari kriminalisasi dan kesewenangan dalam bentuk apapun. Dan yang hanya bisa ditangkap dan bubarkan atau represi adalah ekspresinya yang mengancam kesehatan publik, keamanan publik, dsb. Itu batas2 HAM yang jadi hakim etik dan legal pengatur kehidupan publik dalam kerangka negara. Ingat ya, ekpresinya yang bisa dikriminalkan.
Jadi jelas jika sebuah lembaga yang tidak mencantumkan dasar ormas, lembaga, dan semangatnya tanpa menempatkan Pancasila, UUD 45, NKRI sebagai platform mereka ya harusnya tidak bisa berdiri dan berlagak. Itu harga mati jika mengimajikan Indonesia.
Nah kalau misalnya HTI, FPI, dan ormas brengsel punya akta legal RI, ya berarti bajingan pemberi pengakuannya adalah aparat korup sekaligus musuh dalam selimut. Atau memang sengaja dikasih izin legal supaya jadi kekuatan attack dog yang murah meriah, bodoh, dan masif untuk melanggengkan kekuatan statusquo.
Jadi jika konsisten dalam demokrasinya harusnya apa yang ada di kepala ya biarkan saja. Komunisme, marxisme, atheisme, atau ideologi onta pekok biarkan saja hidup. Yang bisa ditangkap dan dihajar oleh polisi dan penegak hukum adalah ekspresinya.
Percayalah bahwa liberalisme dan demokrasi itu akan menang telak di dunia ini. Nah tindakan pekok a la Wiranto dan Kumolo itu malah memberi bensin gratisan untuk antidemokrasi dan antitoleransi.
Nah pupuk subur bagi liberalisme dan demokrasi itu keadilan ekonomi yang diadministrasi gaya neolib oleh Jokowi dan Ahokbyang keras meneguhkan state capitalism.

Kekacauan hari ini dimana-mana adalah bentuk krisis neoliberal yang transformasinya masih terjebak kapitalisme lama dan para pereguk
Share:
Read More

Antara Tulisan dan Keadaan


Suatu ketika saya dapat keistimewaan membaca dan menulis dengan bahan Panji Masyarakat dan Suara Muhammadiyah. Panjimas dari edisi perdana, bredel, hingga terbit lagi sampai edisi 1984, seingat saya, sudah saya lahap. Sedang Suara Muhammadiyah, secara acak tapi agak lumayan saya pelototi.
Apa yang saya dapatkan sungguh menarik. Mengkonfirmasi dawuh mbah kyai intelektual mantan bos, bahwa nek golek fikih sing ndukung apa sing nolak kui gampang, podho akeh e dalile. Artinya emang sangat kontekstual sekali.
Nah yang menarik di Suara Muhamadiyah zaman AR Fachroedin dan pemimpin sebelumnya, mudah saya temukan iklan rokok atau tembakau di sana. Pun dengan anggur kolesom yang kira2 hari ini sangat haram wkkk. (padahal tradisi lama Jawa dekat dengan kandungan alkohol). Dan hari ini Muhammadiyah anti tembakaunya pol notok. Opo maneh bab alkohol.
Yang menarik lagi di Panji Masyarakat. Selain HM Rasjidi, lulusan Prancis yang wahabi pelawan keras TBC (tahyul, bidah, churafat) itu ada Ahmad Syafii Maarif yang kira2 bisa sya katakan juga wahabis saat itu. Yang liberal itu Amin Rais seorang anak kyai gede Solo yang waktu itu juga sekolah di Amerika kayak Syafii Maarif.
Oh ya, hampir lupa, si M Natsir itu sebelum 1965 dan dekat dengan Arab Saudi ya liberal, ngeropa banget dengan perayaan ala orang kebanyakan eh ujung2nya mengerasss!
Saya ingat juga, klo tidak salah di edisi tahun 79, seorang anak muda baru lulus SMA ngamuk berat sama VS Naipul orientalis India lahir dan besar di Amerika penulis Tuan Biswas. Anak.muda bernama Imam Prasodjo itu merasa dikadalin ditipu habis, diajak menemani keliling pesantren tapi oleh si doi laporan dibukunya ditulis sembrono stigmatis pada Islam di Indonesia.
Poin saya, diakronis itu penting melihat identitas. Dan identitas itu fluid. Ada yang tetap waras sejak dulu. Ada yang tambah waras dan jadi guru bangsa. Ada tambah pekok misale ya Amin Rais. Ha ha ha
Share:
Read More