Bagi mereka yang telah merantau dalam buku-buku, perjalanan jauh, dan
dalam segala bentuk dialogis lain, maka kitab-kita suci dan agama
dengan segala keindahan dan kemuliaannya akan semakin cemerlang nampak
tidak hanya sebagai imajinasi moral tapi juga etik hidup.
Perantauan dalam buku, perjalanan, dan dialog2 tidak hanya membuka seseorang untuk sadar bahwa dunia dan kompleksitasnya tidak sebesar cangkang kepalanya. Tapi semua itu juga memberikan kemampuan perantau itu untuk berpikir dan berefleksi. Maka membaca tidak hanya dalam hal tekstualis, tapi konteks; menimba ilmu dari lahir ke Tiongkok hingga liang lahat, dan berakal/berpikir menjadi hal pokok, yang diserukan para Pengkabar, bagi mereka yang hendak beragama. .
Perantauan dalam buku, perjalanan, dan dialog2 tidak hanya membuka seseorang untuk sadar bahwa dunia dan kompleksitasnya tidak sebesar cangkang kepalanya. Tapi semua itu juga memberikan kemampuan perantau itu untuk berpikir dan berefleksi. Maka membaca tidak hanya dalam hal tekstualis, tapi konteks; menimba ilmu dari lahir ke Tiongkok hingga liang lahat, dan berakal/berpikir menjadi hal pokok, yang diserukan para Pengkabar, bagi mereka yang hendak beragama. .
Tanpa
perantauan-perantauan itu, agama dan kitab suci tidak ubahnya sebuah
tembok besar, tebal, tinggi namun kasat mata layaknya tempurung kaca
yang setiap saat meledak melampaui kekuatan bom hidrogen. Meledakan
mereka yang ada di tempurung kaca, tentu menghancurkan peradaban di
sekitar itu.
Maka mencegah intoleransi tidak lain tidak bukan dengan memberi hak setara dan sama setiap orang tanpa kecuali untuk menikmati komunitas epistemik apa itu dalam kampus atau ruang kreatif. Selain tentu akses kesehatan, rumah, dan pekerjaan yang baik.
Maka lucu saja mendeklarasikan kampus Pancasila atau kaing-kaing soal intoleransi, sedang sebagai kelas menengah dan elit di kampus dan kebijakan begitu eklusif antimanusia lemah dan miskin.
Emang kaum intoleran banyak yang bergelar tinggi, tapi bukankan mereka produk pendidikan menindas, serta lembaga pendidikan tempat bertemunya para pembeli dan penjual informasi?
Maka mencegah intoleransi tidak lain tidak bukan dengan memberi hak setara dan sama setiap orang tanpa kecuali untuk menikmati komunitas epistemik apa itu dalam kampus atau ruang kreatif. Selain tentu akses kesehatan, rumah, dan pekerjaan yang baik.
Maka lucu saja mendeklarasikan kampus Pancasila atau kaing-kaing soal intoleransi, sedang sebagai kelas menengah dan elit di kampus dan kebijakan begitu eklusif antimanusia lemah dan miskin.
Emang kaum intoleran banyak yang bergelar tinggi, tapi bukankan mereka produk pendidikan menindas, serta lembaga pendidikan tempat bertemunya para pembeli dan penjual informasi?
1 comment:
Pak Arief bolehkan saya tau no hp bpk, syukur2 kalau no wa. Terima kasih
Post a Comment