" Mari bersama-sama memberikan konten yang positif bagi Indonesia "

Apologi Cinta

Ibarat teori fisika semakin lebar luas penampang, maka seberapa besar massa mendera itu akan terlewati sambil lalu saja. Kira-kira itu umpama seberapa penting relasi dalam bentuk pasangan, sahabat, suami istri, komunitas, atau imajinasi ikatan sejenisnya. Tidak akan hancur mudah atau lebur, mati bunuh diri, depresi atau mengenaskan lain sejauh ada luas penampang untuk dibagi ketika massa mendera.
Persis, seperti riset Harvard, ukuran kebahagiaan atau bisa bahagia itu sejauh mana seseorang bisa berada dalam relasi imajiner ikatan itu. Imajnasi ikatan seperti pasangan, sahabat, keluarga, suami istri, dst adalah imajinasi moral adanya asuransi alamiah diantara manusia. Syarat utama asuransi alamiah ini adalah cinta sejati. Ya cinta sejati sebagai resiprositas tanpa syarat, seperti matahari pada makhluk bumi, seperti ibu pada anaknya.
Kenapa asuransi ilmiah itu penting, karena tidak selamanya orang itu sehat, selamanya tidak ada malapetaka, selamanya kaya dan berkecukupan, selamanya punya kesempatan dsb. Maka berpasangan dalam kerangka heteronormativitas paling banyak diserukan sejak zaman purba. Pun dengan model berpasangan dalam bentuk lain yang lebih membebaskan, egaliter non hetero tapi komunal seperti sahabat, komunitas, masyarakat atau negara.
Negara sebagai imajinasi moral kemanusiaan yang mengatasi kepurbaan, memastikan asuransi ilmiah ada dalam struktur yang pasti terjamin. Kamu boleh hidup selamanya sendiri tanpa asuransi alamiah itu. Negara telah menyediakan jaminan asuransi lain yang indviduali berupa pensiun, rumah jompo, rumah yatim, panti sosial, dan jaminan-jaminan lain. Syaratnya satu kamu bekerja keras selama kamu mampu, kuat dan bisa, karena bagaimanapun juga darwinisme sosial tak selamanya padam atau hancur oleh adanya negara. Malah kadang negara yang birokratnya bangsat hadir sebagai wasit mekanisme pasar darwinisme sosial itu.
Ramadan ini tentu bulan latihan refleksi, untuk seterusnya hasil refleksi ini menubuh menjadi praktik keseharian. Dan diantara tanda-tanda anugerah yang luar biasa manusia itu adalah mereka yang menemukan dan menubuhkan cinta sejati sebagai asuransi alamiah tanpa syaratnya itu. Syarat cuman satu: Kemanusiaan. Dalam kerangka relasi imajinasi ikatan bernama apapun itu memberi tanpa minta kembali, berikat tanpa mensyaratkan apa agama, suku, ras, dan kerpurbaan konyol lainnya.
Adalah jalan yang sunyi namun mungkin melewati itu. Tapi, apapun itu adalah cinta. Adalah kemanusiaan itu asuransi alamiah manusia etik yang telah selesai dengan kepurbaannya.

olrh : Sigit Budi
Share:
Read More

Mampus Kita

Standar ganda adalah hal biasa dalam republik ini. Pun dengan institusi pendidikan yang wajib berwibawa secara akademik dan nalar. Maka dalam sebuah kampus, harus setiap orang atau kelompok bebas berdialektika dalam bentuk diskusi, riset, lontaran ide atau praktek2 intelektual dengan bebas tapa rasa takut kriminalisasi apalagi teror dari kekuasaan kampus, negara, militer, perusahaan atau juga preman tengik.
Namun apa lacur karena toleransi adalah sedekah kaum mayoritas pada minoritas, yang bisa sesuka hati menarik, merampas, dan undat2 toleransi yang harus equal among the citizen. Dan berkah privelege brengsek itu diberikan dengan sempurna kepada Zakir Naik.
Alih2 berbicara ilmiah dan akademik penuh debat nalar yang njalur, Zakir Naik malah tak ubahnya tukang jamu cum orang suci yang selalu benar dengan pendapatnya sendiri. Jelas kedatangan yang difasilitasi oleh kampus negeri itu menista akal sehat dan sifat properti publik yang harusnya bhineka tunggal ika. Kalau swasta mah suka2 pemilik yayasan meski itu juga menista nalar akademik. Karena diselenggarakan di kampus dan kaum mayoritas Indonesia, maka privelege ilmiah serta menange dewe diperoleh Zakir Naik, artinya tanpa takut kejerat pasal penodaan agama.
Tapi kita tidak lupa bahwa banyak sekali privelege diperoleh oleh pembicara lain, yangnkadang dan tentu lebih ilmiah dibanding dengan Zakir Naik. Selain karena proffesorship atau kajian dibawah naungan akademik yang mereka lakukan. Kita masih ingat bagaimana UGM membatalkan Irshad Manji karena alasan tidak masuk akal. Pun begitu dengan Dr. Haidar Bagir di STAIN Surakarta. Atau Dr. Dede Utomo yang menjadi pembicara bab gender di kampus Jember. Atau penyerbuan kelompok preman di Pusham UII serta masih banyak lagi.
Betapa memalukannya kampus2 yang menampung Zakir Naik dan pasrah dengan tekanan non akademik. Kampus2 itu telah gagal menjadi benteng akal sehat dan intelektualisme yang berpikir, berucap dan bertindak berdasar norma ilmiah dan rasionalitas. Jangan heran kalau kampus dan awaknya kepleset menjadi semacam intellectuals with the guns yang berjuang untuk perusahaan, penguasa, dan ndoro funding.

oleh : Sigit Budi
Share:
Read More

Pendidikan Tinggi dan Proyek Pendidikan ala Neolib



Selama ini liberalisasi di universitas publik itu hanya untuk finansial mahasiwa. Artinya, bisa bayar entah lewat belas kasihan beasiswa yang selalu telat dikasih atau via bayar mahal seorang bisa kuliah dengan baik. Sudah miskin dan bodoh, mati saja di kampus negeri.
Saya bermimpi liberalisasi juga berlaku untuk sistem rekrutmen dan kepegawaian di univ negeri. Kalau ga becus nulis, berkarya, riset, atau pengabdian masyarakat ya sudah di evaluasi setahun atau tiga tahun sekali trus di buang. Dengan begitu, tidak nyolong gaji tapi bela perusahaan atau mroyek melawan rakyat. Tidak dipecat klo disebabkan force major, kecelakaan fisik atau penyakit kronis, misale.
Syarat kaapitalisme lama itu selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sebagai syarat lulus mewajibkan selain nulis skripsi, tesis, dan disertasi harus menulis ilmiah dalam bentuk jurnal dan sesederajat. Lah mbok ya setiap dosen kalau mau dikasih jam ngajar atau dikontrak lagi pertahun harus punya karya tulis atau hal lain. Klo ga pecat saja.
Lelang jabatan sebagai Transparansi, akuntabilitas, antikorupsi, good governance sebagai tulangpunggung reformasi neoliberal untuk menciptakan pasar yang fair secara adhoc perlu didukung dan dijalankan orang macam Jokowi, Ahok, Jonan, SMI.
Orang macam Ahok perlu dikloning untuk jaga gawang sektor pendidikan, perumahan, kesehatan dan kementerian kreatif yang pro penciptaan lap kerja dan pekerja bermutu.
Dengan orang macam Ahok itu saya yakin secara teoritis dan praktik, sisi baik neoliberal bisa dipetik untuk setiap orang bisa kuliah setingginya tanpa mikir biaya, syaratnya cukup niat. Miskin, difabel, perempuan hamil diluar nikah dsb tetap ada hak dan bisa sekolah/ kuliah setingginya. Pun tidak takut sakit. Tidak takut menggelandang. Sekolah, kesehatan, perumahan, dan pasar kerja tersedia bebas untuk disadvantaged, poor and minority.
Filsafat politik kita ga kiri dan ga kanan. Ad hoc neolib ala Jokowi Ahok patut didukung sembari menyiapkan yang permanen pro rakyat miskin.

oleh: Sigit Budi
Share:
Read More

In NDX, Via Vallen I Trust

Saya tidak pernah takut dengan masa depan. Namun saya takut tentang hari-hari ini. Segalanya membombardir begitu saja dari segala arah. Saya yakin masa depan dan generasinya adalah generasi yang jauh lebih waras dari apa yang kita takutkan hari ini.
Oleh sebab itu, saya sangat yakin bahwa liberalisme dan demokrasi akan menang. Orang tidak hanya akan lebih welas asih dalam kerangka karitas, filantropi, pertukaran namun semua kebaikan dilakukan sebagai kewajiban moral. Bukan dalam kewajiban moral berbasis ide purbawi apalagi agama, semua demi kemanusiaan. Semua kewajiban untuk meraih kesejahteraan, keadilan, pemenuhan kewarganegaraan akan berjalan jauh lebih baik.
Namun semua itu akan berjalan segera dengan mulus. Tapi semua itu ada serangkaian asal. Ide klasiknya tentu akumulasi kapital dikuasai dan dilakukan oleh negara untuk diadministrasi oleh negara dengan sedemikian rupa.
Dan tentu imajinasi moral manusia itu berkemang sepeti tumpukan pasir, tidak akan pernah hancur dan rusak, selalu bisa memperbaiki diri dan menata sedemikian ditengah segala bentuk gempuran kerusakan karena imajinasi diabolik, sisi purbawi manusia.
Demikian kira-kira prediksi ke-Indonesia-an / kosmpolitanisme kita di masa depan. Dan anasir keindoensian itu kalau saya metaforakan seperti dangdut hiphop yang dibawakan NDX aka Familia serta Via Vallen. Dua sosok ini adalah sosok Indonesia masa depan yang kiranya bertahan, memilih, memilah dan menampilkan ulang siapa mereka itu.
Bolehlah orang menuduh reff lagu kebangsaan mereka "Sayang" adalah jiplakan lagu Jepang. Tapi sungguh mereka tidak mencuri, Anton Obama generasi tua (ibarat orang Indonesia lama) lah yang mencuri lagu itu dan menjadi lagu yang sangat buruk di dengar. Sempat melayangkan gugatan hukum, macam Fahmi Shahab mengklaim kopi dangdut lagunya, malah ketahuan dia sesungguhnya generasi yang mencuri.
Lalu datanglah NDX bocah bau kencur bersama PJR menjadikannya lagu dangdut berbahasa Jawa dengan campuran rap hip hop. Dua bocah kencur ini sama sekali tidak mempunyai suara yang enak. Sangat biasa. Namun ditangannya energi kreativitas bergerak melesat menembus ruang-ruang anak muda sebayanya dan melintas generasi.
Tanpa suara keren. Tanpa iringan musik sophisticated mereka menjadi nabi dangdut aliran baru dengan jutaan penggemar baru. Dangdut yang dinyanyikan lebih indah dengan koor penonton ini menyita banyak perhatian melintas batas usia dan suku. Sungguh, jelek bener kalau mereka berdua yang menyanyikan.
Memang karakter danddut adalah komunal. Dinyanyikan oleh siapa saja pas. Tidak seperti lagu pop yang sentris, macam kalau bukan Isyana lagu pop yang tenar oleh Isyana tidak lebih dari cover yang buruk. Di dalam dangdut tidak ada cover. Semua adalah penyanyi asli dengan segala variasi dan versinya. Karena dangdut adalah lagu komunal.
Dari lagu dangdut yang mereka, saya percaya bahwa dangdut seperti keindonesian tidak akan mati cepat begitu saja. Ada terborosan tak terduga yang akan lahir. Dangdut tidak lagi penyayi tunggal yang bersuara keren atau pas-pasan, yang harus dibawakan oleh perempuan yang bernegosiasi dengan pasar patriarkhi yang suka sekali dengan dada montok membelah badai, bokong semburat, celana pendek, dan adegan mirip kenthu. Demikian dua anak bau kencur ini menjadi nabi baru dangdut.
Dan dibawah Via Vallens, perempuan muda yang banyak membawakan lagu NDX aka Familia, dandut jauh lebih bermatabat dan menemukan pasar baru. Tidak perlu negosiasi dengan pasar kapitalisme yang senang menjual murah nalar patriakh pakenton alias nalar kenthu.
Sayang versi Via Vallen
https://www.youtube.com/watch?v=UtjFu8c_goE
Sayang versi NDX
https://www.youtube.com/watch?v=2j3aT84acT4
Ultimate bitch (k*mc*l kepolen ) versi Via Vallen
https://www.youtube.com/watch?v=S1AYujZOQzk
Ultimate bitch (k*mc*l kepolen ) versi NDX
https://www.youtube.com/watch?v=TfcW9PXNWSI
Versi buruk Anton Obama copas Kiroro Mirae
https://www.youtube.com/watch?v=wl9PH910EIc
Akhirul kalam, tidak ada yang asli atau murni dalam Indonesia/ sebuah bangsa. Semua adalah proses interaksi, persilangan, migrasi dsb.
#edisijancuknangingserius
Share:
Read More

Animal Symbolicum

oleh : Sigit Budhi


Kiranya tidak ada di muka bumi ini sepanjang peradaban yang tergila-gila dengan simbol yang membedakan alias hirarki selain manusia. Hirarki ini tentu tidak hanya dihadirkan sebagai hasil kekuatan otot, kekerasan, perang, tetapi juga bentuk-bentuk akumulasi tak benda dan bendawi.
Dalam dunia kehidupan kampung di Pantura Jawa, misalnya, banyak para buruh migran yang bekerja di jazirah Arab menunaikan haji berulangkali, tapi self censor menolak dirinya disebut haji dan tidak mau berkumpul dalam kumpulan haji semacam IPHI. Bagi mereka, yang disebut haji adalah yang berangkat via jasa pemerintah. Pun dalam kalangan haji resmi pemerintah, mereka tidak sreg dan tak mengakui mereka para buruh migran yang berhaji bagian dari perkumpulan mereka.
Dan dalam dunia kampus, mereka yang lulusan luar negeri akan ditulis gelar mentereng dengan PhD sedang yang lulusan dalam negeri cukup Dr. Jadi kadang terlihat aneh bin ajaib ketika membaca daftar pengajar di papan presensi. Sungguh membikin geli.
Nampak di negeri yang kurang berpikir, mencari asal-usul dan kontemplasi pengakuan perbedaan itu untuk memberi privelege atau kekuasaan yang lebih bagi mereka yang berkuasa atau memiliki kekuatan.
Hendaknya pengakuan perbedaan itu untuk memberi privelege atau affirmative action bagi mereka yang berbeda tapi lemah. Misalnya memberi fasilitas khusus bagi mereka yang lemah, difabel, hamil dan menyusui dalam suatu layanan publik atau fasilitas kampus misalnya. Jadi hal-hal yang tidak menggarami lautan macam memberi privilege bagi yang PhD dibanding Dr, bagi yang haji negara dibanding haji buruh migran :-p.
Betapa dunia ini akan hancur jika dibiarkan dalam mekanisme pasar ala darwinisme sosial kaum behavioris. Justice, equality, equity harus dihadirkan dalam konteks fleksibel memberi afirmasi dan menolak dampak brutal mekanisme pasar dalam hubungan manusia.
Share:
Read More

Afi Asa Firda Inayah dan Kebrengsekan Pendidikan Kita


Suatu hari dalam hidup saya, belum lama lah, saya menjadi tutor menulis di kalangan SMU. Pesertanya datang lintas kabupaten dalam propinsi. Saat itu mereka baru naik kelas 2 dan kelas 3 SMA. Jadi sepantaran Afi. Saya tutor utama, tandemnya abdi negara.
Di dalam kelas itu saya menemukan banyak anak berbakat. Tidak hanya bakat nulis, tapi bakat kreatif lain. Tapi namanya juga kelas menulis, mereka dipaksa untuk menghasilkan produk tulisan. Sebuah tulisan pendek dengan tema bebas. Bingkainya tentu jurnalistik.
Syahdan diantara 10 pertemuan yang diisi praktik dan diskusi, semakin banyak saya ketahui, beberapa dari mereka terpaksa jadi peserta, dan terpaksa datang ke acara. Jadi memang tidak berangkat dari hati. Dus, sebagai delegasi, sekali kedatangan para siswa ini dapat per diem dan makanan minuman. Semakin jelas ini sebetulnya proyek, yang butuh lembaga pemerintah, bukan siswa.
Draf pendek sudah kumpul. Presentasi sudah. Diskusi kelas berjalan oke. Namun ketika harus diwajibkan penyelenggara untuk nulis panjang, ternyata napas mereka tidak kuat. Wajar dari 10 pertemuan, 3 lebih untuk acara seremoni. Pun per pertemuan tidak bisa bulat 4 jam. Kurang dari itu.
Tibalah waktu tenggat yang diwajibkan oleh penyelengara untuk mengumpulkan tahap pertama. Alhasil saya senang dan kecewa. Beberapa ide dan cara menulisnya baik. Ada yang tulisannya sangat baik. Ada yang idenya liberal, saya suka itu. Kekecawaan segera datang, tulisan dan ide yang baik itu ternyata saya googling adalah hasil copy paste artikel di internet.
Dalam pertemuan selanjutnya saya ajak bicara dan ngobrol tentang temuan saya. Beberapa tidak tahu cara mengutip. Beberapa menyangkal itu copy paste. Okelah kalau begitu. Namun hal umum ya mereka memang utusan, bukan passion mereka untuk ikut acara ini.
Dan yang bikin saya shock, ketika saya minta waktu untuk anak2 biar mereka memperbaiki tulisan mereka adalah pernyataan tandem sekaligus penyelia kelas. "Ga pa pa, yang penting anak-anak itu hadir dan belajar," wah mulia dan bijak sekali ibu ini. Namun closing statementnya bikin duer: "program ini kan dilaporkan dan diperiksa BPK, yang penting ngumpul dan ada laporan saja."
Saya langsung dejavu dengan perilaku abdi negara ini ketika UN. Bagi mereka hasil lebih penting daripada proses. Nah Afi lahir dalam situasi seperti itu keyakinan saya. Afi dirusak oleh sekolah dan sistem brengsek negeri ini, yang memuja hasil dan menghalalkan segala cara dalam proses.
Dalam lingkup kerjaan pun saya ketika bekerja sebagai penyelia menemukan tim lapangan melakukan copy paste internet. Waktu jadi redaktur Jurnal Srinthil pun sering menemukan plagiarism dan self plagiarism oleh mereka yang bergelar Dr dan Prof. Semata-mata menulis di jurnal itu dapat cum tinggi alias ada mata anggaran dalam menulis. Jadi satu tulisan itu bisa punya beberapa modifikasi untuk dikirim ke beberapa jurnal atau penerbitan oleh seorang akademisi. Pun menemukan satu dua paragraf copy paste dari Wikipedia, meski dimaklumi saja lupa tidak mengutip sumber. Berprasangka baik saja to.
Nah pendidikan kita ini kerjaannya memaksa anak untuk menghapal-hapalkan saja, tidak diajari prinsip. Jadi anak sekolah serupa mesin fotokopi atau robot yang diprogram rutin berdasar logaritma tanpa bisa refleksi dan memahami substansi prinsipil. Jadi wajar, jadi anak kreatif, jenius, dan wow di negeri ini begitu langka. Pinter sedikit juga dibunuh oleh birokrasi. jangan berharap lahir Elon Musk, Bob Sadino, atau Gus Mus dengan model pendidikan kita hari ini.
Saya percaya dari ungkapan lisannya Afi itu cerdas dan harapan masa depan Indonesia. Para jomblo sapioseksual tetap memilih Afi ketimbang Nabila JKT 48. Saya yakin itu.
Sehari sebelum dia diundang kampus Pancasila, saya ingin ngetag Afi, tapi ga bisa online karena listrik padam lama di kontrakan saya. Begini bunyinya titipan pesannya:
Apa benar universitas berbasis Pancasila atau kampus Pancasila itu bukan kampus orang kaya, sudah merangkul semua anak bangsa tanpa pandang bulu untuk bisa kuliah atau menikmati hal hal mendasar HAM dan rasa merdeka. Apalagi di kampus itu berlaku DO otomatis, liberalisasi finansial alias mahasiswa adalah konsumen. Artinya orang miskin apalagi bebal, disabel, lgbt, atau minoritas itu tidak bolehlah sekolah disitu. Sepinter Afi pun kalau miskin ga bisa kuliah di situ.
Akhir kata, pendidikan kita itu nalarnya bisnis, jadi selain anti Pancasila juga brengsek. Tetap semangat, Afi.

Oleh : Sigit Budi
Share:
Read More

Melawan Dorna di Abad XXI

Lima ribu tahun yang lalu, Bambang Ekalaya ditolak mentah-mentah oleh Guru Dorna sebagai murid di kelas memanah. Alasannya sepele. Bambang Ekalaya bukan seorang keturunan bangsawan. Iya, Bambang hanya orang kebanyakan.
Tiada pupus harapan Bambang Ekalaya berguru pada Guru Dorna. Dipahatlah patung Dorna. Di depan patung itu, setiap hari. Setiap saat. Dengan keras tanpa mengampuni diri untuk menjadi salah satu pemanah terbaik yang ada di muka bumi.
Dan siapa yang bersungguh, pasti dia dapat. Bambang berhasil meraih keutamaan dan kemuliaan sebagai pemanah terbaik di muka bumi.
Hari ini, kampus adalah Dorna yang hidup dari pajak rakyat pun selalu mengembik ketika meminta dukungan negara untuk bertahan hidup. Dorna menolak dituduh pencuri pajak, namun nyatanya tetap menjadikan padepokannya sebagai tempat bertemunya pembeli dan pedagang informasi. Rakyat pembayar pajak ditipu berkali-kali. Dorna dibawah naungan pajak negara selalu kembali ke watak aslinya sebagai Dorna antimanusia dan kaum papa serta marjinal.
Dorna tetap Dorna, dari zaman ke zaman selalu menolak Bambang Ekalaya. Namun jangan menyerah untuk mereka yang kemarin ditolak universitas para Dorna. Hidup belum berakhir. Belajarlah sekuatnya di depan patung Dorna yang lebih mulia hari ini bernama: Universitas Torrent Demonoid atau Thepiratebay. Genlib dan Scihub. Monoskop, arg atau Dspace, openculture atau apapun.
Kamu tidak perlu ijazah, gedung tinggi, dan Dorna, kamu hanya butuh komunitas epistemik. Di komunitas epistemik semua adalah guru, murid, apapun adalah teks ilmu. Disitulah sesungguhnya kamu berproses.
Ingat-ingat kebrengsekan para Dorna, Hancurkan nanti di kurusetra yang nyata. Dalam kurusetra yang nyata itu gelar tidak laku, tapi karya, kreativitas, integritas dan ketiadaan menyerah.


oleh : Sigit Budi
Share:
Read More

Sembilu Pandora

Oleh : Sigit Budi

Ketika saya kuliah di Sastra Inggris, 18 tahun lalu, kami sering belajar antarbudaya dengan para mahasiswa pertukaran dari wilayah Selatan negeri Uwak Sam. Salah satunya dari Little Rocks, kampung Bill Clinton. Mereka rutin datang ke tempat kami setiap tahun atas berkat jasa International Board on Indonesia, sebuah yayasan kerjasama Kristen dari Semarang.
Kami anak-anak kampung ini bertanya macam-macam tentang budaya dan kehidupan kampus di USA. Saya bertanya soal jenjang kuliah di sana. Teman kami bertanya tentang karya sastra Uncle's Tom Cabin. Tapi dua hal yang membuat para bule muda itu muntah darah dengan pertanyaan kita adalah kenapa dari 24 mahasiswa ini tidak ada satupun yang berkulit hitam atau orang latin. Beda dengan penjelasan kalian tentang negerimu yang multikultural. Tentang melting pot dst.
Nah jawaban yang membuat geli saya adalah jawaban normatif mereka terkait film "American Pie" dan "American Beauty". "Wah itu hanya di film saja," elak mereka. Ini mahasiwa apa anak biara sih wkkk
Bertahun setelah lulus, program di atas masih berjalan. Namun ditengah kuatnya nalar curigation Kristenisasi, program ini sempat disorot khalayak di media. Saya senyum-senyum saja, bagaimana mungkin mereka bisa mengkristenkan kami para mahasiswa dan orang sekitar, ngomong bahasa Indonesia saja ga bisa, apalagi ngomong bahasa lokal, secara nalar saja mereka 11 12 dengan Trump yang merusak imajinasi liberal kami tentang USA.
Kesimpulannya siapapun mereka kalau campur adukan ilmu pengetahuan dengan agama ya otaknya ga jauh dari Trump atau Rizieq. Kalau saja yang jadi mahasiwa pertukaran itu mas Zuck atau Musk, bolehlah khalayak curigation, mungkin saya juga sudah agnostics sejak saat itu.
Share:
Read More

Siasat "Mokel"

Oleh : Sigit Budi

Saya punya teman baik yang koplak dan konyol level dewa. Saya tidak tag dalam postingan ini, siapa tahu saat ini mereka acting jadi suami atau menantu yang saleh. Sebut saja namanya AS dan FU. Yang pertama seorang santri, kedua Islam abangan yang sekolah Katolik.
Bagi kami beragama itu selow, dan penuh siasat. Apalagi dalam kondisi malas sok didaruratkan sebagai jalan keluar. Dalam kondisi darurat, tentu banyak diskon, kan? Tentu alasan utamanya adalah niat mangkir.
Ceritanya dalam bulan Ramadan seperti ini, kami yang aktif di pers mahasiswa saat itu tetap ada kewajiban dari kota ke kota. Godaan mokel atau tidak berpuasa itu tinggi. Alasan excuse untuk mokel dan tidak puasa yang mainstream adalah musafir atau dalam perjalanan. Ini tidak.
Alkisah dalam perjalanan itu, akhirnya harus singgah barang beberapa hari di rumah ortu AS di Ranu Grati, Pasuruan. Entah dapat akal bulus dari mana, tiba-tiba AS berpesan kepada ibunya untuk masak seperti biasa di pagi hari. AS tentu tahu tabiat kampungnya yang santri itu, pada pagi di bulan Ramadan akan susah mencari warung yang berjualan makanan, kopi, dan rokok asupan wajib bagi mereka. Terlebih selama perjalanan itu, mereka sudah terbiasa mokel.
"Lah laopo masak, kan posoan?" tanya ibu As.
"Arek-arek iku Kristen, Bu. Mesake nek ngasi ora sarapan," jawab AS tanpa dosa.
"Ya wes sesuk dicepake kabeh," jawab Ibu tanpa curiga.
Mendengar akal bulus AS, FU tersentak ingin tertawa ngekek tapi ditahan sampai ibu AS berlalu.
"Cuk, nggatheli, Kon," umpat FU. Keduanya baku tatap dan berlalu meledakan tawa di tempat yang sekiranya tidak terdengar ibu.
Disclaimer: tidak untuk ditiru mereka yang beragama dengan cemberut.
Share:
Read More

Pavlov, sang Psikolog dalam Perang

Oleh : Sigit Budi

Saya kira mereka yang membaca dan belajar teori abad XX, tentu mengenal Anton Pavlov dengan teori Anjing Pavlovnya.
Saya mengenal sedikit teori anjing Pavlov ketika tekun belajar strukturalisme, semiotika, psikoanalisa dsb yang berada dalam rumpun titik balik bahasa dalam ilmu sosial.
Sampai tadi malam, Pavlov melintas diotak saya tanpa wow apapun. Namun tayangan Nat Geo yang saya tonton sekilas di layar 40 inch sambil ngobrol kerjaan di warung kopi nancep jleb di kepala saya.
Anjing Pavlov dan Anton Pavlov, tentunya, tidak hanya bermain bunyi lantas anjingnya melet berliur seketika membangun hubungan signifikasi signifier bunyi - signified makanan di kepala si anjing. Jauh melampaui itu saudara.
Sebagai psikolog, Pavlov menerapkannya dalam praktik saudara2. Praktik yang menurut nilai saya hari ini sangat keji dan terkesan putus asa akut.
Bagaimana tidak keji, Pavlov bersama militer Rusia dalam PD II melawan Jerman menjadikan anjing sebagai pengantin bunuh diri. Caranya mirip dengan bermain bunyi di atas. Si anjing yang dibikim lapar dilatih secara brutal mengejar benda bergerak berbentuk tank. Makanan pancingan selalu ditaruh dibawah tank. Begitu bertahun anjing dilatih untuk mendapatkan makanan penghilang lapar dan dahaga.
Tak pelak, ketika perang berlangsung tidak seimbang, dan Jerman di atas angin, maka pada setiap penampakan tank Jerman, anjing pengantin bom bunuh diri ini akan dilepas oleh pasukan Rusia. Satu per satu anjing ini trengginas berlari mengejar tank yang ada. Sesampainya anjing di kolong tank Jerman: boooom! Si anjing malang yang lapar itu koyak bersama detonator bom yang mengubah tank jadi rongsokan besi.
Sungguh di luar akal saya. Dalam hati saya, semoga tidak ditiru kaum fasis dan fundamentalis hari ini.
Share:
Read More

Mereka Butuh Beras

Oleh Sigit Budi

Tidak bisa hidup hanya dengan pujian, sorak sorai, medali bersepuh emas dan piagam penghargaan. Mereka butuh beras. - Bagong Kussudiardja
Kemarin secara tidak sengaja Googling sesuatu dan menemukan nama saya sendiri dalam catalog perpustakaan nasional Australia. Loh jadi terbit juga buku ini, ucap saya heran.
Bagaimana tidak heran, buku berjudul "Filantropi di Indonesia: Mengapa Tidak untuk Seni?" ini saya tulis 8 tahun lalu tandem dengan mas HA, seorang lagi ZAEP, membantu di lapangan.
Sebetulnya sempat diberitahu oleh Yayasan Filantropi Indonesia setahun lalu, bertepatan dengan heboh Art Jog 2016. Saat itu banyak protes seniman kepada penyelenggara. Perang sosial media pun ramai. Saya sempat terbitkan pula potongan tulisan saya di Kalatida. Dan tentu mengisi diskusi Filantropi Seni di Mess 56 Jogjakarta. Mungkin menimbang relevansinya dengan peristiwa hari ini, maka Yayasan Filantropi Indonesia akhinya menerbitan buku tersebut dalam bentuk cetak.
Secara isi sih kalau saya baca lagi hari ini kadang ya malu. Epistimologi saya berkembang, untuk beberapa hal saya baca naif buku itu. Perlu banyak koreksi ulang. Tapi secara ide dan temuan lapangan sangat relevan dan masih terjerumus pada persoalan yang sama. Yang kaya tambah kaya, yang miskin ya begitu saja. Dispasritas tinggi. Solidaritas rendah. Tidak heran, potensi aktivitas seni dann kreativitas dibajak oleh kekuatan kapitalis perusak tinggi. Seperti ungkap Bagong, mereka butuh beras, bukan pujian.
Nah keluhan Bagong pun semakin nyata terlihat di wall FB para orang kreatif yang hidup berbasis tulisan, sket, tari, imajinasi, goretan kuas, dsb. Mereka butuh beras, bukan pujian atau sorak sorai.
Share:
Read More

Heteronormativitas Lebaran

Oleh : Sigit Budi

Secara antropologis momen lebaran memiliki dampak positif dalam kekerabatan sosial. Namun banyak hal yang perlu dikritik dalam tradisi lebaran.
Lebaran jadi ukuran hancur lebur, sukses bahagia seseorang, pasangan, atau keluarga. Semua orang jadi hakim agung how great or how poor you are di tanah rantau. (Akhirnya lahir banyak koruptor atau jadi mangsa rentenir)
Kejamnya lagi, lebaran jadi kaki tangan pelembagaan patriarki dengan heteronormativitasnya. Mereka yang preferensi seks sejenis tidak mungkin bawa pasangan sejenis apalagi diakui anak adopsinya. Jadi pertanyaan selain materialistis dan bego semacam kapa nikah hetero, mana anaknya, dan bla bla itu jadi basa-basi tolol sekaligus pisau kasatmata yang begitu melukai.
Wajar generasi yang beda dan milenial, yang terpuruk serta marjinal cenderung malas mudik. Capek tertimbun masa lalu dan perasaan bersalah yang ditimpakan oleh kaum patriakat nan hetero.
Sudah homoseks, agnostik, ahmadiyah, miskin, perempuan, difabel dll lengkap sudah penderitaan sebagai minoritas berganda dalam lebaran
Share:
Read More

Manipulasi

Oleh : I'ieb Mana


Bagaimana jika sosok Teddy Bear yang kita kenal selama ini yang lebih familiar dengan sisi lembutnya, diberikan identitas yang jauh dari kesan lembut, seperti doyan party, ganja, bicara kasar. apa yang akan kalian bayangkan pertama kali?

mungkin kalian akan mengira “Ted” adalah drama romansa yang serius, tapi percayalah, kisah-kasih romantis antara John dan Lori tersebut hanyalah bungkus kertas tipis yang membalut kekonyolan yang “dimuntahkan” Seth MacFarlane dalam sebuah film komedi bernama “Ted” Jangan tertipu dengan fisiknya yang ke-unyu-unyu-an tersebut, karena boneka teddy bear yang satu ini jelas lebih mengerikan dari peringatan tersedak dalam kemasan mainan plastik.
dan yang paling mengagumkan dalam dialog film ini adalah membahas panjang sesuatu yang tampak tak jelas dan tidak penting, menjadi dialog yang hillarious—idiot tapi sekaligus juga cerdas! Chemistry kompak yang dihadirkan oleh aktor manusia dan boneka CGI pun bekerja dengan konyol, duet Mark dan Seth MacFarlane yang memerankan “Ted” berhasil membuat otak terasa miring. dan kejeniusan Seth MacFarlane secara otomatis akan menggelitik syaraf tawa kalian, menginjeksi “narkoba” bernama komedi sinting yang dengan cepat memberitahu otak agar tak usah serius, duduk dan nikmati kegoblokan film ini. :v

“No matter how big a splash you make in this world, whether you’re Corey Feldman, Frankie Muniz, Justin Bieber or a talking teddy bear, eventually, nobody gives a shit.”
Share:
Read More

Ruang Sadar

Oleh : Sampun Maem


Kesadaran, seringkali muncul berbarengan dengan perasaan terancam. Ia menjadi saksi sebuah kekuatan yang jauh lebih besar darinya. Sebuah situasi mencekam melayang-layang nun jauh di luar angkasa, atau mungkin cukup dengan menyelam dalam samudera tergelap imajinasinya sendiri. Dan pada saat itu, kita tahu: harapan hanyalah sebuah gagasan. Ia bukan suatu yang bisa berdiri sendiri. Ia rentan. Ia butuh sesuatu yang dapat ditumpu.
Orang dapat menumpukan harapannya pada apa saja: Pada pelepah pisang, atau pada genangan air, atau pada bau hujan, atau pada mi rebus, atau bahkan pada gagasan-gagasan paling yang muluk sekalipun; gagasan tentang cinta, akal budi, kemanusiaan, material-spiritual, atau jika perlu, gagasan tentang keberanian menantang samudera tanpa satu pulau pun untuk disinggahi, misalnya.
Kau tak perlu segala tanya soal tumpuan mana yang lebih baik. Aku tak tahu, tapi mungkin dalam situasi itu kita bisa melihat segala sesuatunya jadi lebih jelas.


Share:
Read More

Westerling dan Darah


Kita tahu bersama tragedi 1940-an yang terjadi di Sulawesi, seperti juga yang terdapat dalam lagu Iwan Fals, yang isinya mengenai si Westerling yang seorang jagal. Tentara Bayaran. Profesi jenis ini sebetulnya sudah tak populer lagi. Tapi jika dilihat dalam arti kiasan, kiranya kita masih bisa melihat beberapa pekerjaan yang menggunakan mental seperti ini, atau setidaknya lebih memilih sikap itu ketimbang bersandar pada etika. Mereka adalah para penjual jasa untuk bertahan atau menyerang dalam konflik. Kita bisa menemuinya dalam area politik, ekonomi, bisnis, atau hukum. Mereka cukup siap menjadi tentara kita meskipun kita tak sedang bertempur. Motif mereka jelas. Dan karena kejelasan itulah kita dapat menelusuri konsekuensi lanjutannya.

Machiavelli menyebut mereka tak berguna dan berbahaya. Menurutnya, mereka punya sifat terpecah belah, ambisius, tidak setia, beraninya kalau sama teman sendiri, tapi pengecut kalau berhadapan dengan musuh. Jika mereka handal; mereka tak bisa dipercaya karena menginginkan kejayaan untuk mereka sendiri, baik itu dengan menekan kita (tuan mereka), atau dengan cara-cara yang bertentangan dengan maksud kita. Tapi jika mereka tak handal ; mereka lebih parah lagi.
Share:
Read More

HAMPA

Oleh : Sampun Maem




Salah satu pengalaman manusia yang paling ajaib adalah merasa hampa. Pengalaman aneh yang justru muncul ketika seorang manusia merasa hadir, ketika alam semesta hadir, dan ketika oranglain hadir di sekitarnya. Sebuah pengalaman tentang non-kehadiran. Tentang ketiadaan.
Fenomena ini memancing perdebatan yang sangat panjang dan sangat melelahkan. Heidegger bahkan mempermasalahkan ribuan tahun sejarah teologi, filsafat, dan sains karena tak mampu menggeluti masalah ini. Ia hendak mengorek jantung terdalam tentang hakikat “Ada” dari titik “Hampa”


Share:
Read More

Hidup dan Sebuah Status

Tulisan ini adalah sebuah status dari sahabat Facebook "Sampun Maem" dan beberapa balsan komentar dari "Gedhek Reot" saya adalah salah satu pengagum tulisan mereka berdua. tulisanya begitu mengalir dan sulit difahami akan kedalamanya. juga ini merupakan bentuk penghargaan yang coba saya fahami dari tulisan nan indah.

"Sampun Maem (Den Rohmat)"
Sumber


Aku suka tiga paragraf ini. Jahat.. ;)

Buku itu dilarang Gereja pada 1559. Machiavelli memang tak berharap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini Kristen, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kontemplatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik yang terpenting adalah virtù.
Virtù berarti kejantanan, yang bertaut dengan tindakan: ketegasan, keberanian, kegesitan, kegarangan, kelicikan—semua sikap yang perlu buat berkuasa.
Dengan virtù manusia melawan nasib, Fortuna. Machiavelli mengiaskan Fortuna sebagai "sungai yang destruktif", yang bila marah, membawa banjir. Tapi "sungai" itu, Fortuna, bisa dijinakkan, meskipun tak bisa dilumpuhkan. Dengan bahasa seorang misogynist, Machiavelli mengibaratkan Fortuna seorang perempuan yang perlu dipukul dan dihajar agar bisa "dikendalikan". Dengan virtù.

"Gedhek Reot (Den Afif)"

Yare-yare hidoi naaa... Fortuna wa kami-sama janai desuka? Soshite... Mempolitisasi berarti mengambil sebuah laku (act), yang tentu saja berbeda dengan memikirkan sebuah konsep. Seperti yang diutarakan diatas, butuh sebuah keberanian dalam mengambil sikap, ketegasan, kegarangan, kelicikan dst. Lebih menitik beratkan kepada insting gambling dalam dunia pilihan mutlak. Orang jawa bilang eling lan waspada merupakan sebuah kondisi konstan dan terus menerus yang jelas berbeda dalam perenungan. Trend tranformasi filsafat dari berpikir menuju bertindak yang telah lama dikobarkan oleh setan-setan diskursus dan kemudian menjadi trademark baliho besar 'zizek'.

"Sampun Maem (Den Rohmat)"

Haha.. menarik, den. Tapi saya melihatnya dari sisi lain. Fokusnya bukan pada persoalan tranformasi filsafat dari berpikir menuju bertindak, melainkan bagaimana kaum agamawan kerapkali menghindar, mengedepankan kontemplasi pribadi, menarik diri dari masyarakat atas nama ibadah. Dan yng menarik lagi, melalui Machiavelli, GM mencemooh prilaku unsocial tersebut: lamban, labil, tidak tahu diri, bahkan pengecut. Dengan cara itu ia mempropagandakan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi dan ia menegaskan: bahwa problem itu memang ada dan ia ada untuk tindak lanjuti, bukan sekedar untuk dinikmati. 

"Gedhek Reot (Den Afif)"

Sebuah problem yang membuat serak suara sang nabi zoroaster tergerus typhoon...menarik memang mengangkat machievalli, mengingat ia bersikeras "jangan bawa-bawa tuhan dalam kasus ini!." Problem pemupukan doktrin fatalist dan melangit ini memang sukar dilepaskan. Seorang praktisi dan CEO sebuah perusahaan penjualan alat kesehatan pernah mengatakan padaku" hidup itu ada untuk disyukuri dan dinikmati." Syukur yang berarti menerima dengan baik dari tuhan kemudian dinikmati sebagai hasil keputusan kasus/nasib/kondisi yang berlaku. Dan tentunya ditafsiri terbalik oleh fatalist diatas. Problemnya apakah kita perlu membunuh sang tuhan, atau menjadi ilmuwan organik yang lupa tradisi dan mencla-mencle atau seorang pasifist yang berkorban totalitas untuk dunia(dunianya sendiri), atau pemimpi dengan dunia ideal fatamorgananya untuk membuat semua ini sehat? Mengingat kita tak pernah lepas dari lingkaran dialektis hegelian, dan mengingat agama merupakan diskursus kolosal yang epistemenya tak berhenti bahkan ketika kiamat itu sendiri. Sebuah legitimate yang memiliki power sedemikian besar memang tak bisa dikesampingkan dan berlagak tak berarti karena memang kita tak bisa merasakan yang mereka lihat dan kita melihat apa yang mereka rasakan. Boleh jadi kita menganggap ini sebagai kegilaan kolektif atau sekedar mode culture manusia. Yang manapun itu, terasa sangat menyebalkan.


saya memandang tulisan mereka sangat mengesankan, penuh dengan emosi, filsafat dan hal yang tak pernah terpikirkan oleh saya, nice.
Share:
Read More

Antara Hukum Alam dan Kehidupan

Oleh : Gedhek Reot



Daripada melihat filmnya, aku lebih tertarik dengan kesan yang "Den Rohmat" ini utarakan. Akankah kita perlu kembali ke romantika qobil dan habil untuk menegaskan yang mana yang lebih manusiawi? atau pembunuhan tersebut hanyalah implikasi dari letupan energi yang tak tertahankan karena tiadanya wadah sublimasi untuk berbaur?. Sebuah pembicaraan panjang perenungan manusia mencari manusia itu sendiri.

Lacan menggambarkan manusia hanyalah meme yang berusaha mengidentifikasi diri dan memupuk image tentang dirinya dengan gambaran orang lain. hal ini disebut dengan efek mirror image yang menyebabkan dirinya terkubur dalam imagi the other dan mulai kehilangan dirinya. Jadi merupakan hal lumrah pemandangan orang bingung ketika ditanyakan siapa kamu, apa keinginanmu (yang sesungguhnya) dan lainnya.

Tak berhenti disitu makhluk hidup berdarah panas ditakdirkan untuk hidup berkelompok membangun society dan culture bagi mereka yang mempunyai intelegensi tingkat tinggi. Disinilah manusia mulai mencari keseragaman menciptakan value dan sense yang sama dan berusaha membunuh sang chaos. Yang meghasilkan respon beragam diantaranya plakat madness pada thn 1800an disematkan manusia sebagai adzab karena mengingkari alam yang chaos ini.

Manusia kemudian mulai memahami bahwa mereka tak pernah sama di tingkatan pemahaman dan perasaan. Mereka tak pernah sejurus dalam tataran imago dan bahkan bahasa yang menjelaskan realitaspun terbatas, sekedar ilusi belaka. Mereka tak pernah benar-benar berdialog lebih dikatakan sebagai monolog atau bahkan lebih buruk lagi hanyalah interaksi.

Dalam penerjemahannya other sering dikatakan sebagai liyan. Sebuah keputusan yang diambil dari asas kepastian bahwa ia bukan kita. Tapi apakah kita benar-benar yakin dan paham kepada yang lain? Iro-iro te(dalam banyak hal). Oleh karena itu saya lebih suka penerjemahan N.A yang menerjemahkannya sebagai "diantara" dengan kerendahan hatinya. Karena kita benar-benar tak tahu. " Hell is the other people". Lalu akankah kita hanya harus menyentuh permukaan tanpa menjalani relasi mendalam, akankah kita hanya harus membuang semua hal ke dalam sapitenk layaknya anarchist, ataukah kita mengangkat bendera kelompok layaknya pacifist atau bahkan racist. Dan semua "mistery" ini akan raib tak berbekas ketika manusia itu sendiri tiada dan lenyap.


Tulisan ini merupakan status dari sahabat, Gedhek Reot bersama Den Rohmat.

Share:
Read More