" Mari bersama-sama memberikan konten yang positif bagi Indonesia "

Afi Asa Firda Inayah dan Kebrengsekan Pendidikan Kita


Suatu hari dalam hidup saya, belum lama lah, saya menjadi tutor menulis di kalangan SMU. Pesertanya datang lintas kabupaten dalam propinsi. Saat itu mereka baru naik kelas 2 dan kelas 3 SMA. Jadi sepantaran Afi. Saya tutor utama, tandemnya abdi negara.
Di dalam kelas itu saya menemukan banyak anak berbakat. Tidak hanya bakat nulis, tapi bakat kreatif lain. Tapi namanya juga kelas menulis, mereka dipaksa untuk menghasilkan produk tulisan. Sebuah tulisan pendek dengan tema bebas. Bingkainya tentu jurnalistik.
Syahdan diantara 10 pertemuan yang diisi praktik dan diskusi, semakin banyak saya ketahui, beberapa dari mereka terpaksa jadi peserta, dan terpaksa datang ke acara. Jadi memang tidak berangkat dari hati. Dus, sebagai delegasi, sekali kedatangan para siswa ini dapat per diem dan makanan minuman. Semakin jelas ini sebetulnya proyek, yang butuh lembaga pemerintah, bukan siswa.
Draf pendek sudah kumpul. Presentasi sudah. Diskusi kelas berjalan oke. Namun ketika harus diwajibkan penyelenggara untuk nulis panjang, ternyata napas mereka tidak kuat. Wajar dari 10 pertemuan, 3 lebih untuk acara seremoni. Pun per pertemuan tidak bisa bulat 4 jam. Kurang dari itu.
Tibalah waktu tenggat yang diwajibkan oleh penyelengara untuk mengumpulkan tahap pertama. Alhasil saya senang dan kecewa. Beberapa ide dan cara menulisnya baik. Ada yang tulisannya sangat baik. Ada yang idenya liberal, saya suka itu. Kekecawaan segera datang, tulisan dan ide yang baik itu ternyata saya googling adalah hasil copy paste artikel di internet.
Dalam pertemuan selanjutnya saya ajak bicara dan ngobrol tentang temuan saya. Beberapa tidak tahu cara mengutip. Beberapa menyangkal itu copy paste. Okelah kalau begitu. Namun hal umum ya mereka memang utusan, bukan passion mereka untuk ikut acara ini.
Dan yang bikin saya shock, ketika saya minta waktu untuk anak2 biar mereka memperbaiki tulisan mereka adalah pernyataan tandem sekaligus penyelia kelas. "Ga pa pa, yang penting anak-anak itu hadir dan belajar," wah mulia dan bijak sekali ibu ini. Namun closing statementnya bikin duer: "program ini kan dilaporkan dan diperiksa BPK, yang penting ngumpul dan ada laporan saja."
Saya langsung dejavu dengan perilaku abdi negara ini ketika UN. Bagi mereka hasil lebih penting daripada proses. Nah Afi lahir dalam situasi seperti itu keyakinan saya. Afi dirusak oleh sekolah dan sistem brengsek negeri ini, yang memuja hasil dan menghalalkan segala cara dalam proses.
Dalam lingkup kerjaan pun saya ketika bekerja sebagai penyelia menemukan tim lapangan melakukan copy paste internet. Waktu jadi redaktur Jurnal Srinthil pun sering menemukan plagiarism dan self plagiarism oleh mereka yang bergelar Dr dan Prof. Semata-mata menulis di jurnal itu dapat cum tinggi alias ada mata anggaran dalam menulis. Jadi satu tulisan itu bisa punya beberapa modifikasi untuk dikirim ke beberapa jurnal atau penerbitan oleh seorang akademisi. Pun menemukan satu dua paragraf copy paste dari Wikipedia, meski dimaklumi saja lupa tidak mengutip sumber. Berprasangka baik saja to.
Nah pendidikan kita ini kerjaannya memaksa anak untuk menghapal-hapalkan saja, tidak diajari prinsip. Jadi anak sekolah serupa mesin fotokopi atau robot yang diprogram rutin berdasar logaritma tanpa bisa refleksi dan memahami substansi prinsipil. Jadi wajar, jadi anak kreatif, jenius, dan wow di negeri ini begitu langka. Pinter sedikit juga dibunuh oleh birokrasi. jangan berharap lahir Elon Musk, Bob Sadino, atau Gus Mus dengan model pendidikan kita hari ini.
Saya percaya dari ungkapan lisannya Afi itu cerdas dan harapan masa depan Indonesia. Para jomblo sapioseksual tetap memilih Afi ketimbang Nabila JKT 48. Saya yakin itu.
Sehari sebelum dia diundang kampus Pancasila, saya ingin ngetag Afi, tapi ga bisa online karena listrik padam lama di kontrakan saya. Begini bunyinya titipan pesannya:
Apa benar universitas berbasis Pancasila atau kampus Pancasila itu bukan kampus orang kaya, sudah merangkul semua anak bangsa tanpa pandang bulu untuk bisa kuliah atau menikmati hal hal mendasar HAM dan rasa merdeka. Apalagi di kampus itu berlaku DO otomatis, liberalisasi finansial alias mahasiswa adalah konsumen. Artinya orang miskin apalagi bebal, disabel, lgbt, atau minoritas itu tidak bolehlah sekolah disitu. Sepinter Afi pun kalau miskin ga bisa kuliah di situ.
Akhir kata, pendidikan kita itu nalarnya bisnis, jadi selain anti Pancasila juga brengsek. Tetap semangat, Afi.

Oleh : Sigit Budi
Share:

No comments: