Tulisan ini adalah sebuah status dari sahabat Facebook "Sampun Maem" dan beberapa balsan komentar dari "Gedhek Reot" saya adalah salah satu pengagum tulisan mereka berdua. tulisanya begitu mengalir dan sulit difahami akan kedalamanya. juga ini merupakan bentuk penghargaan yang coba saya fahami dari tulisan nan indah.
"Sampun Maem (Den Rohmat)"
Sumber |
Aku suka tiga paragraf ini. Jahat.. ;)
Buku itu dilarang Gereja pada 1559. Machiavelli memang tak berharap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini Kristen, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kontemplatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik yang terpenting adalah virtù.
Virtù berarti kejantanan, yang bertaut dengan tindakan: ketegasan, keberanian, kegesitan, kegarangan, kelicikan—semua sikap yang perlu buat berkuasa.
Dengan virtù manusia melawan nasib, Fortuna. Machiavelli mengiaskan Fortuna sebagai "sungai yang destruktif", yang bila marah, membawa banjir. Tapi "sungai" itu, Fortuna, bisa dijinakkan, meskipun tak bisa dilumpuhkan. Dengan bahasa seorang misogynist, Machiavelli mengibaratkan Fortuna seorang perempuan yang perlu dipukul dan dihajar agar bisa "dikendalikan". Dengan virtù.
"Gedhek Reot (Den Afif)"
Yare-yare hidoi naaa... Fortuna wa kami-sama janai desuka?
Soshite... Mempolitisasi berarti mengambil sebuah laku (act), yang tentu saja
berbeda dengan memikirkan sebuah konsep. Seperti yang diutarakan diatas, butuh
sebuah keberanian dalam mengambil sikap, ketegasan, kegarangan, kelicikan dst.
Lebih menitik beratkan kepada insting gambling dalam dunia pilihan mutlak.
Orang jawa bilang eling lan waspada merupakan sebuah kondisi konstan dan terus
menerus yang jelas berbeda dalam perenungan. Trend tranformasi filsafat dari
berpikir menuju bertindak yang telah lama dikobarkan oleh setan-setan diskursus
dan kemudian menjadi trademark baliho besar 'zizek'.
"Sampun Maem (Den Rohmat)"
Haha.. menarik, den. Tapi saya melihatnya dari sisi lain.
Fokusnya bukan pada persoalan tranformasi filsafat dari berpikir menuju
bertindak, melainkan bagaimana kaum agamawan kerapkali menghindar,
mengedepankan kontemplasi pribadi, menarik diri dari masyarakat atas nama
ibadah. Dan yng menarik lagi, melalui Machiavelli, GM mencemooh prilaku
unsocial tersebut: lamban, labil, tidak tahu diri, bahkan pengecut. Dengan cara
itu ia mempropagandakan kepentingan sosial diatas kepentingan pribadi dan ia
menegaskan: bahwa problem itu memang ada dan ia ada untuk tindak lanjuti, bukan
sekedar untuk dinikmati.
"Gedhek Reot (Den Afif)"
Sebuah problem yang membuat serak suara sang nabi zoroaster tergerus typhoon...menarik memang mengangkat machievalli, mengingat ia bersikeras "jangan bawa-bawa tuhan dalam kasus ini!." Problem pemupukan doktrin fatalist dan melangit ini memang sukar dilepaskan. Seorang praktisi dan CEO sebuah perusahaan penjualan alat kesehatan pernah mengatakan padaku" hidup itu ada untuk disyukuri dan dinikmati." Syukur yang berarti menerima dengan baik dari tuhan kemudian dinikmati sebagai hasil keputusan kasus/nasib/kondisi yang berlaku. Dan tentunya ditafsiri terbalik oleh fatalist diatas. Problemnya apakah kita perlu membunuh sang tuhan, atau menjadi ilmuwan organik yang lupa tradisi dan mencla-mencle atau seorang pasifist yang berkorban totalitas untuk dunia(dunianya sendiri), atau pemimpi dengan dunia ideal fatamorgananya untuk membuat semua ini sehat? Mengingat kita tak pernah lepas dari lingkaran dialektis hegelian, dan mengingat agama merupakan diskursus kolosal yang epistemenya tak berhenti bahkan ketika kiamat itu sendiri. Sebuah legitimate yang memiliki power sedemikian besar memang tak bisa dikesampingkan dan berlagak tak berarti karena memang kita tak bisa merasakan yang mereka lihat dan kita melihat apa yang mereka rasakan. Boleh jadi kita menganggap ini sebagai kegilaan kolektif atau sekedar mode culture manusia. Yang manapun itu, terasa sangat menyebalkan.
Sebuah problem yang membuat serak suara sang nabi zoroaster tergerus typhoon...menarik memang mengangkat machievalli, mengingat ia bersikeras "jangan bawa-bawa tuhan dalam kasus ini!." Problem pemupukan doktrin fatalist dan melangit ini memang sukar dilepaskan. Seorang praktisi dan CEO sebuah perusahaan penjualan alat kesehatan pernah mengatakan padaku" hidup itu ada untuk disyukuri dan dinikmati." Syukur yang berarti menerima dengan baik dari tuhan kemudian dinikmati sebagai hasil keputusan kasus/nasib/kondisi yang berlaku. Dan tentunya ditafsiri terbalik oleh fatalist diatas. Problemnya apakah kita perlu membunuh sang tuhan, atau menjadi ilmuwan organik yang lupa tradisi dan mencla-mencle atau seorang pasifist yang berkorban totalitas untuk dunia(dunianya sendiri), atau pemimpi dengan dunia ideal fatamorgananya untuk membuat semua ini sehat? Mengingat kita tak pernah lepas dari lingkaran dialektis hegelian, dan mengingat agama merupakan diskursus kolosal yang epistemenya tak berhenti bahkan ketika kiamat itu sendiri. Sebuah legitimate yang memiliki power sedemikian besar memang tak bisa dikesampingkan dan berlagak tak berarti karena memang kita tak bisa merasakan yang mereka lihat dan kita melihat apa yang mereka rasakan. Boleh jadi kita menganggap ini sebagai kegilaan kolektif atau sekedar mode culture manusia. Yang manapun itu, terasa sangat menyebalkan.
saya memandang tulisan mereka sangat mengesankan, penuh dengan emosi, filsafat dan hal yang tak pernah terpikirkan oleh saya, nice.
No comments:
Post a Comment